Abdullah Ibnu Mas’ud-Saksi Ketidakberesan Mushaf Utsmani?
26
Nov
Tidak pernah bosan-bosan
kaum kafir berusaha melemahkan dan membuat ragu akan kebenaran agama
Islam yang kita anut. Mereka tahu, sebagai seorang Muslim kita pasti dan
akan selalu bergantung kepada kitab suci Al-Qur’an sebagai jalan hidup,
kitab yang terakhir yang Allah turunkan. Oleh karena itu mereka mencari
jalan agar kita meragukan isi dan kandungannya. Namun sayang, usaha
mereka bukanlah asli dari hasil penelitian sendiri, padahal mungkin
strata pendidikan mereka bisa dibilang cukup tinggi, tapi mengenai
keatifitas menghujat dan menyesatkan umat masih tingkat play grup,
bagaimana tidak? Orang yang pertama kali mempermasalahkan Mushaf
Abdullah ibnu Mas’ud adalah seorang orientalis Australia yang bernama
Arthur Jeffery. Nah, karena tuduhan mereka sudah lama sekali “basi”,
tuduhan mereka jadi angin lalu karena pihak muslim sudah menjawabnya.
Oleh karena jawaban-jawaban muslim banyak yang masih dalam format ebook
atau pdf, seolah-olah artikel dengan topik Mushaf Ibnu Mas’ud
situs-situs atau blog-blog penghujatlah yang banyak kita jumpai, dan
untuk itulah saya sengaja membuat topik yang sama sebagai jawaban atas
situs atau blog penghujat tersebut yang saya kutip dari buku berjudul
“The History of The Qur’anic Text” karya Prof.Dr.M.M. al-A’zami.
Selamat Membaca….
Arthur Jeffery telah meneliti 170 jilid
buku dalam mengumpulkan daftar ragam bacaan yang menghabiskan sebanyak
sekitar 300 halaman dalam bentuk cetakan, memuat apa yang disebut mushaf
milik sekitar tiga puluh orang ilmuwan. Dari jumlah ini ia mencadangkan
88 halaman guna mengupas ragam bacaan yang, menurutnya, bermula dari
Mushaf Ibn Mas’ud, sedang 65 halaman yang lain dari Mushaf Ubayy. Sedang
selebihnya (140 halaman) khusus membahas dua puluh delapan ilmuwan yang
lain. Adanya ragam bacaan dengan urutan tinggi yang ditudingkan
terhadap Ibn Mas’ud secara tidak wajar, membuat Mushaf itu menarik untuk
diteliti dengan lebih mendalam; beberapa anggapan Jeffery mengenai
mushaf itu sebagai berikut.
Berbeda dengan Mushaf Uthmani dari sisi susunan surah,
Mengalami perbedaan teks,
Dan tidak memasukkan tiga surah.
la melempar semua tuduhan walau tak ada
seorang manusia, termasuk sumber-sumbernya, yang pernah menyaksikan
“Mushaf’ tersebut dengan semua ragam bacaan yang la katakan. Pada
hakikatnya, tidak satu pun referensi yang dipakai menyebut keberadaan
“Mushaf Ibn Mas’ud”; sebaliknya mereka menggunakan perkataan qara’a
(membaca), dalam konteks bacaan “Ibn Mas’ud terhadap ayat tertentu”.
Jika kita lihat secara sepintas terhadap sumber itu, maka akan dapat
memunculkan dua bantahan secara spontan. Pertama, karena mereka tidak
pernah menyatakan bahwa Ibn Mas’ud membaca dari naskah tertulis, maka
kita dengan mudah menganggap bahwa ia membaca melalui hafalannya, dan
bagaimana mungkin dapat kita menyimpulkan bahwa bacaan yang salah itu
bukan disebabkan oleh ingatan yang meleset? Kedua, (hal ini pernah saya
sampaikan sebelumnya), kebanyakan referensi Jeffery sama sekali tidak
memiliki isnad yang menyulitkan untuk dapat diterima karena sumber itu
tidak menawarkan sesuatu kecuali fitnah.
Membandingkan sebuah Mushaf yang
dikaitkan dengan ilmuwan tertentu dengan Mushaf `Uthmani akan tak
membawa faedah, kecuali dapat menunjukkan bahwa keduanya memiliki
status yang sama, membuktikan kebenaran yang pertama dengan keyakinan
yang kita miliki. lsi kandungan sebuah Mushaf, sama seperti hadith atau
qira’at, yang hanya dapat diriwayatkan melalui cara yang ditentukan
oleh para ilmuwan:
Sahih dengan keyakinan Sepenuhnya, atau
Meragukan, atau
Sama sekali palsu (baik karena kesalahan disengaja ataupun tidak di sengaja).
Katakanlah kebanyakan para murid Ibn
Mas’ud (seperli al-Aswad, Masruy, ash-Shaibani, Abti Wa’il, al-Hamadani,
‘Alqamah, Zirr, dan lainnya) melaporkan satu pemyataan secara sepakat,
maka jika dikaitkan dengan Ibn Mas’ud akan dianggap sah dan diterima.
Jika sebagian besar dapat menyepakati, sementara satu atau dua orang
murid yang terkenal meriwayatkan sesuatu yang berlainan, maka anggapan
yang minoritas ini disebut “meragukan”. Jika yang minoritas terdiri dari
para murid yang bernilai pas-pasan serta tak dikenal, tetapi pernyataan
mereka menyalahi kesepakatan para murid yang ngetop, maka akan
dimasukkan ke dalam kelompok ke tiga yang benar-benar palsu.
Guna menyatukan manuskrip, “kesamaan
status” menjadi konsep yang sangat penting. Jika kita temukan dokumen
tulisan tangan pengarang pertama, kedudukannya secara ilmiah dari naskah
salinan yang dimiliki oleh para murid yang terkenal (apa lagi murid
bayangan) akan secara otomatis hilang nilainya. Melakukan sebaliknya,
atau menyamakan yang asli dengan duplikat dianggap sangat tidak ilmiah.
Dengan memahami masalah ini, marilah kita hadapi tuduhan-tuduhan
Jeffery.
1. Susunan Mushaf Ibn Mas’ud
Tak ada satu dari mereka yang hidup
sezaman dengan Ibn Mas’ud menyebut Mushaf yang dimilikinya memuat
susunan surah yang berlainan, isu itu muncul ke permukaan setelah beliau
wafat. An-Nadim mengutip al-Fadl bin Shadhan, “Saya melihat susunan
surah dalam Mushaf Ibn Mas’ud sebagai berikut: al-Baqarah, an-Nisa’,
`Ali `Imran…[yaitu, tanpa al-Fatihah].” Seterusnya melalui komentar,
an-Nadim menyebut bahwa secara pribadi, ia pemah melihat berbagai Mushaf
yang dikaitkan kepada Ibn Mas’ud, akan tetapi ia tidak pemah melihat
dua naskah yang mirip satu sama lain, ditambah lagi ia juga menemukan
satu naskah di abad kedua Hijrah yang memuat surah al-Fatihah. Karena
al-Fadl bin Shadhan terhitung memiliki wewenang keilmuan yang cukup
terpandang dalam bidang ini, an-Nadim memutuskan lebih baik mengutip
daripada mengutamakan observasi sendiri. Komentar an-Nadim membuktikan
bahwa mereka yang menganggap adanya kelainan pada Mushaf Ibn Mas’ud
tidak dnp;u menyatakan secara pasti susunan surah yang sebenarnya, walau
pada tahapan keyakinan yang paling minim.
Terdapat jumlah signifikan dari
murid-murid yang terkenal yang belajar Shari’ah (hukum Islam dan fiqih)
di bawah bimbingan Ibn Mas’ud dan meriwayatkan AI-Qur’an darinya.
Mengenai Mushafnya, kita menemukan dua riwayat silang: yang pertama
menyebutkan bahwa susunan surah berlainan dengan yang kita miliki,
sementara yang lain mengatakan sama. Yang pertama gagal mencapai
kesepakatan mengenai urutan surah, dan ternyata riwayat ke dua jauh
lebih meyakinkan. Tentunya versi yang lebih konkret akan lebih menarik
perhatian kita. AI-Qur’an memperjelas apa yang pernah ia lihat tentang
Mushaf Ibn Mas’ud, Ubayy, dan Zaid bin Thabit, dan melihatnya tidak
terdapat perbedaan.
Melalui kesepakatan para qari
profesional, mereka mengikuti nada bacaan salah satu dari tujuh qari
yang memiliki urutan teratas: misalnya `Uthman, ‘All, Zaid bin Thabit,
Ubayy, Abu Musa al-Ash’ari, Abu ad-Darda’, dan Ibn Mas’ud. Jaringan mata
rantai riwayat bacaan mereka langsung sampai pada Nabi Muhammad , dan
susunan surah pada tiap-tiap bacaan persis sama dengan AI-Qur’an yang
ada sekarang. Kita juga mesti ingat, kalaupun kita memberi penilaian
pada riwayat yang sumbang, perbedaan susunan surah tidak akan
berpengaruh pada isi kandungan AI-Qur’an .
Karena setelah menghafal sebagian besar
dari AI-Qur’an secara langsung dari Nabi Muhammad, Ibn Mas’ud ternyata
sangat kritis dan bahkan pernah berang saat tidak diikutsertakan dalam
kepanitiaan penyiapan Mushaf ‘Uthmani, dengan melempar kecaman pedas
yang membuat para Sahabat merasa gerah. Kemudian saat kemarahan mereda,
bisa jadi juga ia telah menyatakan penyesalan atas komentarnya yang
tergesa-gesa, dan lalu menyusun surah-surah dalam Mushaf pribadinya
mengikuti urutan Mushaf ‘Uthmani. Barangkali inilah pemicu munculnya dua
riwayat yang berseberangan, urutannya sama, namun berbeda dengan milik
`Uthman, kendati yang tahu persis penyebabnya hanya Allah swt..
Penyimpangan yang mungkin terjadi pada kebanyakan “Mushaf Ibn Mas’ud”
yang muncul setelah wafatnya, di mana satu sama lain tidak sama,
menunjukkan bahwa seluruh Mushaf yang dikaitkan kepadanya dianggap satu
kekeliruan, dan para ilmuwan yang melakukan hal itu tampaknya juga lalai
dalam meneliti sumber-sumber yang ada. Sayangnya, para penjual
barang-barang kuno itu, lebih suka melihat dari sisi keuntungan,
gara-gara mementingkan kepingan fulus perak, berani membuat taruhan
menamhah Mushaf palsu Ibn Mas’ud atau Ubayy ke atas barang dagangan
mereka.
2. Teks yang Berbeda dengan Mushaf Kita
Di atas, tadi sudah saya sebut perlunya
kepastian tentang Mushaf Ibn Mas’ud. Ketika meneliti berbagai ragam
bacaan, Abu Hayyan an-Nahawi menemukan kebaayakan riwayat dikaitkan
dengan Ibn Mas’ud, mengambil sumber dari kelompok Syiah. Sementara para
ilmuwan Sunni di sisi lain menyatakan bahwa bacaan Ibn Mas’ud senada
dengan bacaan seluruh umat Islam.7Oleh karena itu, pengaruh dari sumber
itu tidak dapat mengubah keyakinan dan pengetahuan kita. Pada halaman
57-73 Kitab al-Masahif (yang disunting oleh Jeffery), dalam bab “Mushaf
`Abdullah bin Mas’ud,” kita mendapat koleksi ragam bacaan yang panjang
itu, semuanya bersumber dari alA’mash (w. 148 H.). AI-A’mash bukan saja
tidak memberi referensi untuk hal itu – dan yang lebih mengejutkan,
kesukaannya melakukan tadlis (menggelapkan sumber infotmasi) – ia juga
dianggap memiliki kecenderungan terhadap Syiah. Banyak contoh yang dapat
menguatkan kesimpulan Abu Hayyan mengenai hubungan Syiah itu. Dalam
bukunya, Jeffery mengaitkan bacaan berikut terhadap Ubayy dan Ibn Mas`ud
(walaupun tanpa referensi):
“Dan mereka yang paling dulu percaya
terhadap Nabi Muhammad, alaihis salam, adalah ‘Ali dan keturunannya yang
Allah telah pilih dari kalangan para Sahabat dan dijadikannya mereka
sebagai pemimpin atas yang lain. Mereka itulah orang-orang yang menang
dan yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal selama-lamanya.”
Sementara yang disebut dalam AI-Qur’an
(‘Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu [masuk surga]. Mereka itulah orang yang didekatkan [kepada Allah.])10 Penghormatan yang berlebihan pada keturunan ‘Ali, tanpa diragukan, menyimpan perasaan membela Syiah.
(‘Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu [masuk surga]. Mereka itulah orang yang didekatkan [kepada Allah.])10 Penghormatan yang berlebihan pada keturunan ‘Ali, tanpa diragukan, menyimpan perasaan membela Syiah.
Melibatkan diri dalam penelitian,
memerlukan dasar pijakan yang kuat. Namun dalam hal ini, kita menemukan
mereka tenggelam dalam arus kabar angin yang hampir sama sekali tidak
punya jaringan mata rantai transmisi, dan gagal dalam menyajikan
pendapat logis mengenai apa yang dikatakan sebagai ‘Mushhaf Ibn Mas’ud’
itu. Dalam keadaan seperti ini, pendekatan dan penemuan Jeffery, seperti
yang dapat kita lihat, pada intinya sangat naif.
3. Tiga Surah yang Dihilangkan
Surah pertama dan dua surah yang terakhir
(Surah al-Fatihah, al-Falaq dan an-Nas), menurut beberapa riwayat,
tidak terdapat dalam Mushaf Ibn Mas’ud.Tampaknya seluruh masalah yang
ada sangat meragukan. Jeffery mengawali tulisannya dengan melempar
tudingan ragam bacaan dari Surah alFatihah: arshidna dan bukan ihdina,
dan juga man, bukan alladhina. Di mana dia berkilah bahwa surah ini
tidak pemah ada, jadi dari mana dia mendapat ragam bacaan ini? Para
pembaca tentu masih ingat komentar an-Nadim sebelum ini bahwa ia pernah
menemukan sebuah Mushaf yang dikaitkan dengan Ibn Mas’ ud yang memuat
surah al-Fatihah. Ingat bahwa surah al-Fatihah itu tak perlu
dipertanyakan lagi, merupakan surah yang paling sering dibaca dalam
AIQur’ an, dan juga bagian yang tidak terpisahkan dari setiap rakaat
dalam shalat. Dalam shalat berjamaah, surah itu menggema dari tiap
menara masjid sebanyak enam kali dalam sehari, dan delapan kali pada
tiap hari Jumat. Oleh sebab itu, tudingan adanya ragam bacaan al-Fatihah
tidak perlu dianggap serius, dan secara logika bacaan surah ini
diperdengarkan pada telinga setiap Muslim bermula sejak zaman Nabi
Muhammad .
Seorang yang cenderung ingin menyalin
beberapa surah Tertentu, kurang begitu suka dengan yang lain, ia behas
melakukannya, bahkan membual tambahan pada sisi halaman juga dibenarkan
selama hal itu dipisahkan dari Kitab Suci. Kejadian seperti itu tidak
bisa dipakai untuk berkilah menentang keutuhan AI-Qur’an. Mushaf’
Uthmani yang memuat Kalam Allah yang tidak pernah temodai dan dibagi ke
dalam 114 surah, sudah jadi kepercayaan yang tak mungkin terusik bagi
kaum Muslimin; siapa yang mengelak menerima pandangan ini, ia akan jadi
buangan. Kalaulah Ibn Mas’ud menolak tiga surah ini, maka nasibnya juga
sama.
Al-Baqillani sampai pada argumentasi yang
menyeluruh dan meyakinkan dalam menafikan laporan miring seperti
tersebut di alas. la menyatakan bahwa siapa yang menolak surah tertentu
yang merupakan bagian dari Al-Qur an, maka ia dianggap murtad atau
fasik. Jadi salah satu sifat ini akan terkena pada Ibn Mas’ud kalau
riwayat itu benar adanya. Dalam banyak hadith, Nabi Muhammad memuji
kesalehannya dan tidak mungkin berbuat macam macam. Orang-orang yang
hidup sezaman dengan Ibn Mas’ud juga berkewajiban, kalau mereka melihat
sesuatu yang mencemarkan kepercayaannya, mengungkapkannya sebagai
penyeleweng atau murtad, jika tidak, berarti mereka mencemarkan din
sendiri Namun kenyataannya, mereka yang hidup sezaman dengannya sepakat
dalam memuji keilmuan yang dimiliki tanpa satu orang pun yang
berseberangan. Dalam pandangan al-Baqillani, keadaan itu hanya mempunyai
dua implikasi: kemungkinan Ibn Mas’ud tidak pernah menolak status
sebenarnya mengenai surah itu, atau para ilmuwan yang mengenalnya kurang
tepat dalam menghadapi fitnah yang semestinya perlu diganyang ketika
itu.
i. Analisis Isi Kandungan Mushaf Ibn Mas’ud
Asal usul munculnya penghapusan
surah-surah ini, urutannya dapat dibuat sebagai berikut; dalam hal ini
jaringan mata rantai transmisi mendahului setiap riwayat.
‘Asim-Zirr (salah seorang murid Ibn
Mas’ud)-Ibn Mas’ud: riwayat membuat tudingan bahwa ia tidak menuliskan
dua surah (no. 113 dan 114) dalam Mushafnya.
AI-A’mash-Abu Islury-’Ahdur-Rahman bin
Yazid: Ibn Mas’ud mcnghapus suruh Mu’awwidluuain (surah 113 and 114)
dari Must afnya dan mcngatakan bahwa keduanya bukan bagian dart
Al-Qur’an .
Ibn ‘Uyaynah-`Abdah dan `Asim-Zirr: “Saya
berkata pada Ubayy, ‘Saudaramu menghapus surah 113 dan 114 dari
Mushafnya’, yang mana ia tidak menolaknya. Ketika ditanya apakah yang
dimaksudkan itu adalah Ibn Mas’ud, Ibn `Uyaynah menjawab dengan nada
pasti dan menambah bahwa kedua surah itu tidak ada dalam Mushafnya
karena ia menganggap sebagai doa perlindungan Ilahi yang digunakan oleh
Nabi Muhammad untuk cucunya al-Hasan dan al-Husain. Ibn Mas’ud tetap
tidak mengubah pendiriannya, sementara yang lain yakin dan memasukkannya
ke dalam AI-Qur’an.
Jadi, dalam riwayat kedua dan ketiga, Ibn
Mas’ud menghapus surahsurah yang sempat masuk dalam Mushafnya, jika
demikian mengapa dia menulisnya saat pertama kali? Hal ini tentu tidak
masuk akal. Kalau dikatakan Mushaf itu telah ditulis dan memuat dua
surah terakhir, sudah tentu keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh
dari Mushaf yang beredar pada saat itu. Kalau terdapat keraguan, maka
menjadi kewajiban Ibn Mas’ud memastikan masalah yang ada dengan para
ilmuwan lain sewaktu di Madinah maupun tempat lain. Dalam satu fatwanya,
ia pemah menyatakan bahwa lelaki yang mengawini wanita lalu menceraikan
sebelum jima’, maka ia boleh mengawini ibu wanita itu. Ketika in
berkunjung ke Madinah dan membahas isu itu selanjutnya, ia mengakui
telah bersalah dan kemudian membatalkan fatwanya. Misi pertama saat
kembali ke Kufah adalah menemui orang yang pernah minta fatwa dan
mengatakan bahwa hal itu tidak benar. Demikianlah sikapnya dalam bidang
ilmiah, maka lebih-lebih lagi dalam isu yang jauh lebih penting mengenai
AI-Qur’an. Semua bukti yang lebih masuk akal menunjukkan semua cerita
yang tidak wajar mengenai dirinya adalah palsu, dan para ilmuwan zaman
dulu seperti an-Nawawi dan Ibn Hazm menyatakan bahwa yang ditimpakan
pada Ibn Mas’ud itu bohong.
Ibn Hajar, salah satu muhaddithun
terkemuka, menolak kesimpulan itu. Selagi Ibn Hanbal, Bazzar,
at-Tabarani dan lainnya mengutip kejadian itu melalui jaringan mata
rantai riwayat yang sahih, maka ia memberi alasan bahwa tudingam itu
tidak dapat dinafikan sesederhana itu; melakukan hal itu berarti
menafikan hadith sahih tanpa dukungan sewajarnya. Ibn Hajar berusaha
membuat kompromi pada kedua riwayat yang berseberangan dengan berpijak
pada penafsiran Ibn as-Sabbagh: dalam ulasan pertama Ibn Mas’ud tetap
enggan mengakui kedudukan keduanya sebagai surah AI-Qur’ an, tetapi
setelah diketahui tidak dipersoalkan oleh umat dan merupakan bagian dari
AI-Qur’an, sikap keraguannya semakin mencair dan akhimya percaya
seperti yang lain.
Argumentasi di atas merupakan yang
terkuat yang saya pernah lihat dalam memberi dukungan terhadap tudingan
itu. Untuk mengupas persoalan lebih lanjut, saya akan berpijak pada
metode muhaddithun lain guna menyingkap kekeliruan pendirian Ibn Hajar
itu.
ii. Keyakinan Ibn Mas’ud
Telah saya tegaskan sebelumnya bahwa
al-Fatihah, tujuh ayat yang paling sering dibaca di masjid dan
rumah-rumah semenjak zaman Nabi Muhammad secara logika tak mungkin
ditolak oleh Ibn Mas’ud. Persoalannya, menyangkut surah 113 dan 1l4.
Dalam jaringan cerita ke tiga, kita temukan bahwa Ubayy tidak menolak
Ibn Mas’ud, dengan mendengar bahwa ia telah menghapus surah pungkasan
itu, ia tidak bermaksud menolak. Apa artinya? Itu berarti ia setuju,
ataupun tidak setuju tapi bertahan setelah melihat ada perbedaan. Karena
kita tahu Mushaf Ubayy memuat kedua stirah tersebut, maka kita tidak
bisa menerima persetujuannya. Begitu juga kita mesti menolak
ketidaksetujuannya karena sikap tidak peduli sama dengan mengatakan
bahwa masyarakat bebas memilih bagian AI-Qur’an apa saja yang mungkin
dianggap menarik. Dalam hal ini, tidak seorang pun dapat mendominasi
sikap yang demikian dan masih tetap dianggap sebagai Muslim. Oleh sebab
itu, riwayat mengenai diamnya Ubayy merupakan kepalsuan yang nyata.
Sekarang kita hendak melihat penyesuaian
yang dilakukan oleh ibn asSabbagh. Banyak dari kalangan para Sahabat
seperti Fatimah, A’ishah, Abu Harairah, Ibn `Abbas dan Ibn Mas’ud
meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad selalu membaca AI-Qur’an dengan
Malaikat Jibril tiap Ramadhan satu kali dalam setahun, dan dua kali
dalam tahun sebelum beliau wafat. Bahkan dalam tahun terakhir, Ibn
Mas’ud juga ikut serta. Dia juga membaca Kitab itu dua kali bersama Nabi
Muhammad yang kemudian memujinya dengan ucapan laqad ahsanta (bacaan
Anda hagus). berdasarkan kejadian itu pula Ibn ‘Abbas menganggap bacaan
Ibn Mas’ud sebagai yang jelas dan tepat. Pujian tersebut mcnunjukkan
bahwa AI-Qur’an terekam dalam ingatan yang penuh kepastian;
murid-muridnya yang cemerlang, seperti `Alqamah, al-Aswad, Masruq,
asSulami, Abu Wa’il, ash-Shaibani, al-Hamadani, dan Zirr, semuanya
meriwayatkan AI-Qur’an yang mereka terima dari padanya berjumlah
sebanyak 114 surah. Hanya salah satu murid Zirr, `Asim, satu-satunya
yang memberi pernyataan konyol kendati ia mengajarkan seluruh isi
kandungan Kitab Suci atas wewenang Ibn Mas’ud.
Salah satu karya Ibn Hajar, yaitu sebuah
risalah ringkas mengenai hadith yang berjudul Nuzhat an-Nazar,
memberitahukan kita bahwa jika seorang perawi yang tepercaya (katakanlah
seorang ilmuwan betahap B) membelakangi pendapat perawi lain yang lebih
tinggi kedudukannya (yaitu ilmuwan bertahap A), ataupun bila terdapat
ilmuwan lebih banyak (yang sama derajatnya) mendukung satu versi cerita
dari yang lain, maka penjelasan yang dikemukakan oleh yang lebih rendah
disebut shadh (nyleneh dan loyo). Dalam berita di atas kita dihadapkan
pada satu pernyataan laksana seorang atlet renang yang coba-coba hendak
melawan arus raksasa, yang menjadikan hal ini dapat dipandang sebagai
satu kebatilan. Ini tentunya berlandaskan pada metode yang dipakai oleh
para muhaddithun, yang walaupun Ibn Hajar mengutip ketentuan-ketentuan
itu, namun barangkali saat itu mental beliau dalam keadaan tidak begitu
prima atau, dalam hal ini, dimana seorang yang intelijen pun boleh jadi
mengalami hal yang sama. Mungkin ada pendapat yang menyebut, guna
mengangkat permasalahan shadh dan batil memerlukan dua pernyataan
silang, sementara apa yang kita hadapi adalah hanya berkaitan dengan
penghapusan surah 113 dan 114, tanpa ada oposisi. Alasannya sederhana,
dalam suasana yang normal hanya ketidaknormalan yang biasanya diangkat
menjadi bahan cerita. Contohnya, darah yang mengucur keluar dari urat
kita berwama merah adalah sesuatu yang biasa, tetapi darah berwarna biru
(sejenis kepiting) adalah sesuatu yang luar biasa dan akan mendapat
liputan lebih banyak. Hal yang serupa, kita tidak akan mempersoalkan
murid-murid Ibn Mas’ud yang gagal memberitahukan kita apakah guru mereka
meyakini 114 surah, karena itu sudah jadi masalah yang lumrah. Hanya
mereka yang percaya sedikit atau lebih, akan menjadi objek pemberitaan.
Komentar yang saya kemukakan terhadap
Mushaf Ibn Mas’ud dapat juga diterapkan pada Ubayy bin Ka’b, atau siapa
saja dalam masalah tersebut.
4. Kapan Suatu Tulisan itu Dapat Diterima Sebagai Bagian dari AI-Quran?
Hammad bin Salamah meriwayatkan bahwa
Mushaf Ubayy mcmuat dua surah lebih, yang disebut al-Hafad dan
al-Khala’. Berita ini betul-hetul palsu karena terdapat cacat besar
dalam jaringan mata rantai perawinya, karena jarak waktu yang tak
terhitung, sekurang-kurangnya, dua atau tiga generasi antara kematian
Ubayy (w. sekitar 30 H.) dan kegiatan ilmiah Hammad (w. 167 H.). Selain
itu, kita juga mesti ingat bahwa catatan yang dibuat dalam buku tidak
menjadi bagian dari buku itu sendiri. Tetapi katakanlah, sekadar untuk
adu alasan dalam berdebat, kita menerima bahwa beberapa alinea lebih
tertulis dalam Mushaf Ubayy. Adakah alinea langsung dan otomatis
meningkat sama kedudukannya dengan AI-Qur’an? Tentu saja tidak. Mushaf
‘Uthmani terselesaikan, dan disebarluaskan melalui para guru yang
mengajarkannya setelah mendapat wewenang yang sesuai dan jadi ketentuan
dalam menetapkan apakah sesuatu teks itu AI-Qur’an, bukan sekadar
coret-coretan tak menentu dari manuskrip ilegal.
i. Prinsip Menenukan Ayat sebagai Al-Qur’an
Tiga pedoman yang hendaknya terpenuhi sebelum cara sebuah bacaan suatu ayat dapat diterima sebagai AI-Qur’an:
Qira’at mesti tidak diriwayatkan hanya
dari satu sumber yang memiliki otoritas, melainkan melalui sejumlah
riwayat besar (yang cukup untuk melenyapkan kemungkinan adanya kesalahan
yang masuk), yang juga sampai kepada Nabi Muhammad yang dapat menjamin
keaslian dan kepastian bacaan.
Teks bacaan mesti sama dengan apa yang terdapat dalam Mushaf ‘Uthmani.
Cara pengucapan mesti senada dengan tata bahasa Arab yang benar.
Semua karya tulis yang memiliki otoritas
dalam bidang qira’at, seperti Kitab as-Sab`af fi al-Qira’at oleh Ibn
Mujahid, pada umumnya menyebut adanya pembaca tunggal di setiap pusat
kegiatan ilmu Islam yang kemudian diikuti oleh dua atau tiga orang
murid. Daftar yang minim seperti itu tampaknya berseberangan dengan
prinsip pertama. Bagaimana dapat menjelaskan seorang ahli membaca AI-Qui
an (qari) dan dua muridnya dari Basrah misalnya, membuktikan bahwa
qira’at itu diriwayatkan melalui jalur riwayat yang besar? Untuk
menjelaskan persoalan ini para pembaca hendaknya melihat kembali topik
“Ijazah bacaan” pada bab sebelum ini. Prof. Robson dan Ishaq Khan, yang
menyajikan jalur riwayat Sunan Ibn Majah melalui Ibn Qudamah, hanya bisa
mendapatkan beberapa nama saja, sementara dengan melacak ijazah bacaan
kami temukan lebih dari 450 murid. Itu pun hanya dari satu manuskrip;
naskah-naskah tambahan lain yang juga dari jaringan mata rantai
periwayatan yang sama, dapat memberi angka yang lebih besar. Sama halnya
dengan menyebut dua atau tiga nama murid adalah semata-mata sebagai
yang terwakili dan dimaksudkan untuk menghemat waktu penyusunan dan juga
bahan tulisan, dan terserah pada para ilmuwan yang merasa berminat akan
hal itu untuk mengupas secara tuntas.
Ada perbedaan mendasar antara AI-Qur’an
dan Sunnah Nabi Muhammad dalam hal penyampaian riwayat melalui otoritas
tunggal. Satu-satunya ilmuwan dan hafal satu hadith bisa jadi, ketika ia
mengajar melalui hafalannya, merasa perlu mencari persamaan kata
pengganti saat terlupa pada kata-kata yang sebenarnya. Jika tak seorang
pun yang meriwayatkan hadith itu, maka ketidak telitiannya akan berlalu
secara mudah tanpa terditeksi. Bandingkan hal itu dengan AI-Qur’ an.
Dalam tiga shalat jamaah, shalat Jumat, Tarawih, Idul Fitri, dan Idul
Adha, imam akan membaca dengan suara kuat dan mendapat dukungan dari
jamaah di belakangnya. Jika tidak ada anggota jamaah yang menegur,
berarti bacaannya mendapat restu orang banyak yang jumlahnya ratusan,
ribuan, atau bahkan puluhan ribu. Tetapi apabila ada teguran ketika
shalat, sedangkan imam tetap memaksakan bacaan yang menyalahi Mushaf
‘Uthmani, ia akan didongkrak secepatnya sebagai imam shalat. Tak akan
mungkin terdapat kekeliruan dalam qira’at yang dapat lewat begitu saja,
dan semua yang melanggar batas-batas yang telah ditetapkan akan segera
disingkirkan. Batas-batas yang ditetapkan dengan jelas seperti ini yang
merupakan sumber penyelamat utama Al-Qui an .
Mari kita periksa setiap naskah yang
dikaitkan dengan AI-Qur’an dengan berpijak pada prinsip-prinsip di atas.
Tampak jelas prinsip yang pertama itu tidak ada, karena naskah [dua
surah Ubayy itu] tidak memberi penjelasan tenlang yang meriwayatkan.
Mengenai syarat kedua; apakah hal ini sejalan dengan Mushaf ‘Uthman?
Adanya ketidakserasian sekecil apa pun dalam masalah kerangka huruf
hidup, dapat menyebabkan runtuhnya nilai kepercayaan. la mungkin bisa
dipakai untuk yang lain, kecuali untuk menjadi bagian dari AI-Qur’an.
ltu merupakan kesepakatan kaum Muslimin semenjak empat belas abad yang
lalu.
Berbicara mengenai kerangka huruf mati,
perlu kita sebut di sini masalah huruf hidup (contohnya alif jika
terletak di tengah sebuah kata) biasanya menampilkan ortografi yang agak
lain, biasanya tergantung pada pertimbangan penulis. Lihat contoh him.
131-5 dan juga penerbitan faksimile dalam bahasa Prancis baru-baru ini
mengenai kepingan naskah Al-Qui an. Dalam contoh yang kedua kita
menemukan kata qalu (dengan alif di tengah) ditulis dengan qalu (tanpa
alif di tengah). Berdasarkan ketentuan ini, maka hat yang sama dapat
terjadi pada kepingan naskah AI-Qui an yang ditemukan di Yaman.
Perbedaan pada tahapan ini tidak akan membuat kita keblinger, kita mesti
memperlakukan masalah ini persis sama seperti kata color vs. colour
atau center vs. centre dalam bahasa Inggris, karena kelainan ortografi
laiknya kesatuan halus yang selalu muncul dalam bahasa manapun . Namun
apabila sekeping tulisan itu jatuh ke tangan mereka yang selalu ingin
tahu, meski dibenarkan adanya perbedaan ortografi, tetapi tidak sesuai
dengan kerangka AI-Qur’an `Uthmani, kita mesti singkirkan jauh-jauh ke
luar dan menganggapnya sebagai hal yang palsu dan tidak berlaku.
Tentunya jika terdapat tanda-tanda huruf mati yang hilang disebabkan
kesalahan menulis, maka hal itu akan bisa diterima sebagai bagian dari
AI-Qur’an. Contohnya, al-fawahish ditulis al-wahish, di mana penulisnya
meninggalkan huruf Fa’.
ii. Contoh Hukuman bagi Ilmuwan Karena Menyalahi Ketentuan di atas
Ibn Sanbudh (w. 328/939), salah seorang
ilmuwan terbesar di bidang qira’at di zamannya, menganggap remeh naskah
‘Uthmani dalam membaca AI-Qur’an. Karena bacaan itu terbukti benar
melalui jalur transmisi yang berlainan serta sesuai dengan grammar
hahasa Arab, ia beranggapan bacaan itu sah walaupun berbeda dengan
Mushaf ‘Uthmani. Dalam persidangan hukum, ia diminta bertobat dan
akhimya dikenakan hukum cambuk sebanyak sepuluh kali. An-Nadim mengutip
surat pengakuan Ibn Shanbudh sebagai berikut:
Dalam kalimat di bawah menunjukkan bahwa
Ibn Shanbudh mengakui kesalahan melanggar Mushaf yang didukung oleh
seluruh umat, dan kemudian mohon ampunan Allah
Seorang ilmuwan lain, Ibn Miqsam (w.
354/965) juga diminta bertobat di depan para fuqaha’ dan qurra’ karena
teori bacaannya yang berbeda. Teorinya menyebutkan, bacaan siapa saja
selama masih sesuai dengan Mushaf `Uthmani dan kaidah bahasa Arab, dapat
dianggap sah tanpa perlu menyelidiki asal usul jalur qira’at dan
mendapat pengesahan mengenai tanda-tanda bacaan yang berkaitan dengan
tiap-tiap ayat.
Seorang ilmuwan meremehkan prinsip yang
kedua, sementara yang lain menganggap rendah ketentuan yang pertama.
Rev. Mingana menyatakan penyesalannya bagi yang mau menerima kedua
ilmuwan itu. Sekurangkurangnya, kita dapat menganggap suatu yang wajar
setelah mengetahui bahwa keduanya diberi perlakuan atas dasar belas
kasih ketimbang William Tyndale (1494-1536), gara-gara salah
menerjemahkan kitab Injil ke dalam bahasa Inggris, dihajar hukum bakar
hidup-hidup (menurut versi Bible King James).
5. Kesimpulan
Para ilmuwan Yahudi dan Kristen sejak
lama telah menyimpan obsesi ingin melecehkan adanya perbedaan terhadap
Al-Qur’an, hanya Allah dengan begitu mudah mengamankan dan memelihara
Kitab-Nya sehingga segala upaya dan sumber yang jadi andalan hanya mampu
menjadikan mereka kewalahan. Abad ke-20 ini menyaksikan adanya satu
Lembaga Kajian AIQur’an yang didirikan oleh Universitas Munich. Seluruh
ruangan gedung dipenuhi sebanyak empat puluh ribu naskah AI-Qur’an dari
berbagai abad dan negara dan kebanyakan dalam bentuk foto asli, sedang
para stafnya asyik menyibukkan diri membandingkan kata-kata dari setiap
naskah sebagai upaya yang tak kenal lelah dalam menyingkap perbedaan
yang terdapat dalam AIQur’an.
Beberapa waktu sebelum Perang Dunia II,
laporan pendahuluan yang cukup mantap telah diterbitkan yang menyebut
bahwa tentunya terdapat kekeliruan dalam menyalin manuskrip Al-Qur’an,
kendati tidak terdapat ragam perbedaan. Selama peperangan, Amerika
mengebom lembaga tersebut menghancurkan keseluruhan yang ada termasuk
direksi, staf, dan semua pakar perpustakaan… Ini semua membuktikan bahwa
tidak ada perbedaan pada naskah-naskah AI-Qur’an sejak abad pertama
hingga ke abad ini.
Jeffery mengakui fakta ini kendati secara
sinis ia menyesal bahwa “Secara praktis semua Mushaf-Mushaf terdahulu
dan kepingan-kepingan naskah yang selama ini diteliti dengan hati-hati
membuktikan adanya kesamaan teks, kalau pun terdapat perbedaan, hal itu
hampir keseluruhannya dapat diterangkan sebagai kesalahan tulisan.”
Bergtrasser juga memiliki kesimpulan yang sama. Namun Jeffery tetap
memaksakan pendapat bahwa teks-teks itu “tampaknya belum ditetapkan
hingga abad ke-3 Islam” [dan karenanya] agak penasaran bahwa tidak
terdapat contoh teks lain yang masih bertahan di antara semua
kepingan-kepingan itu yang selama ini diteliti.” Untuk menjawab
kebimbangan yang dimiliki, tampaknya ia masih belum dapat melihat hutan
rimba dengan aneka ragam pohon dan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di
dalamnya. Jelasnya, tidak pernah terdapat teks-teks yang berlainan.
Daripada merengek-rengek kepada komplatan
Orientalis yang selalu berubah sikap menurut kepentingannya, kaum
Muslimin hendaknya tetap meniti jalan yang dilalui para muhaddithun
zaman dulu. Apa sebenamya hasil yang mungkin diraih sekiranya kita
hendak menerapkan kriteria terhadap kajian kitab Injil? Coba renungkan
contoh berikut ini, sekadar gambaran betapa rapuhnya dasar-dasar teori
mereka. Dalam Dictionary of the Bible, dalam artikel yang berjudul
“Jesus Christ”, kita dapat membaca, “Satu-satunya saksi dalam pemakaman
[Kristus] terdapat dua orang wanita…” Kemudian dalam judul lain, “The
Resurrection”, “Banyak sekali kesulitan yang berkaitan dengan bahasan
ini, dan juga berita-beritanya, yang juga tak banyak jumlahnya dan
bahkan mengecewakan, serta memuat beberapa perbedaan tertentu yang tak
mungkin dicarikan titik temu atau penyelesaian; tetapi para pakar
sejarah yang konsisten dengan aturan-aturan yang paling tepat dan merasa
terikat oleh disiplin ilmiah, menemukan bukti yang cukup memadai untuk
meyakini fakta itu.”
Kita hanya mampu meraba-raba bahwa
‘fakta-fakta’ dalam posisi lebih tinggi dari yang lain dan tidak perlu
lagi mencari-cari bukti. Apa jadinya jika kita hendak menerapkan metode
kita sendiri? Apa yang dapat kita sebut mengenai cerita penguburan Yesus
Kristus? Pertama, siapakah orang yang mengarang cerita dalam Injil itu?
Semuanya tidak ada yang dikenal secara pasti dan cerita itu pun hampa.
Kedua, siapa yang membawa pernyataan dua orang wanita itu kepada
pengarang? Entahlah. Ketiga, jaringan mata rantai riwayat macam mana
yang dapat dipakai sebagai ukuran? Tidak ada. Semua cerita yang adalah
hasil rekayasa.
Upaya mencari perbedaan dalam Al-Qur’an
terus berjalan tanpa henti, dan bahkan Brill ikut memanasi usaha ini
dengan membuat Encyclopedia AIQur’an (sebanyak empat jilid) yang akan
terbit dalam beberapa tahun mendatang. Di antara badan penasihatnya,
selain para ilmuwan Yahudi dan Kristen, tak ada lain adalah M. Arkoun
dan Nasr Abu Zaid yang sudah dianggap sebagai penyeleweng (heretics) di
negara-negara Islam.
Penilaian telah berulang kali saya buat
terhadap kedudukan ilmiah kitab Injil secara sepintas, dan juga semangat
yang membara hendak memaksakan AI-Qur’an dengan keraguan dan teka-teki
guna menutupi kelemahan Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB).
Kini giliran saya mengambil sikap proaktif dalam menyelami sejarah teks
kitab suci mereka, bukan sekadar perbandingan. Setiap ilmuwan dan
pengkritik merupakan produk lingkungan tertentu, dan para Orientalis –
baik yang Kristen, Yahudi, ataupun ateis – semuanya lahir dari latar
belakang Yahudi dan Kristen yang ingin memilah-milah pandangan tentang
segala masalah yang berkaitan dengan keislaman. Sikap selektifnya memacu
mereka mengubah studi Islam pada satu bentuk yang benar-benar aneh
dengan mengenalkan peristilahan yang ada dalam Injil. Blachere misalnya,
memakai istilah vulgate. Bible versi Latin yang dihasilkan pada abad
keempat dan lebih digemari oleh Gereja Katolik Roma (penerjemah). saat
menunjuk Mushaf `Uthman dalam bukunya Introduction au Coran, dan Jeffery
menerangkan Al-Qur’an sebagai teks yang Masoretic, istilah yang umumnya
berkaitan dengan Kitab Perjanjaian Lama berbahasa Ibrani. Dengan
menghilangkan seluruh peristilahan AI-Qur’an, Wansbrough malah berbicara
mengenai Haggadic exegesis, Halakhic exegesis, dan
Deutungsbedurftigkeit.42 Setiap orang dari kalangan mereka juga menyebut
canonization Al-Qur’an (dalih-dalih AI-Qur’an) dan naskah kuno Ibn
Mas’ud. Kebanyakan kaum Muslimin tak pemah berurusan dengan
jargon-jargon aneh itu. Apabila hipotesis Jeffery, Goldziher dan yang
lain telah kita bicarakan dan kita nafikkan, maka kini saatnya untuk
kita meneliti sepenuhnya motif-motif yang melatarbelakangi usaha mereka.
Sketsa potter sejarah awal YahudiKristen, diiringi sejarah Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru, diharap dapat melicinkan jalan pemahaman yang
lebih dalam mengenai cara berpikir para ilmuwan dan akhimya akan
mengantarkan kita dapat melihat lebih jelas lagi pertimbangan dan
sederet tujuan pihak Barat dalam melakukan kajian terhadap Al-Qur’an