Oleh, Artawijaya (Editor Pustaka Al Kautsar)
Menyikapi
upaya segelintir orang yang terdiri dari kelompok liberal, begundal,
gay, homo, dan lesbi yang menyuarakan propaganda pembubaran ormas yang
bergerak dalam penegakkan amar ma'ruf nahi munkar, maka umat Islam yang
mayoritas di negeri ini perlu bersatu, menggalang dukungan, dan
mencanangkan program umat: "Indonesia Tanpa Sepilis." Sepilis adalah
akronim dari Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme, kumpulan ideologi
sesat yang telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia. Tulisan
bersambung ini akan membongkar makar ideologi AS dan para kompradornya
di Indonesia yang menjajakan dan mengasong ideologi kotor, Sepilis!
Rand Corporation, lembaga nirlaba asal Amerika Serikat pada 2007 silam menurunkan hasil penelitian dan laporan berjudul "Building Moderate Moslem Networks"
yang ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Bernard, Lowell H. Schwartz, dan
Pieter Sickle. Sebagai lembaga think tank, hasil penelitian dan laporan
Rand Corporation sering digunakan oleh pemerintah AS sebagai
rekomendasi untuk menerapkan kebijakan negeri Paman Sam itu di berbagai
belahan dunia, khususnya negara-negara Islam. Seperti tertera dalam
laporan tersebut, penelitian tentang "Membangun Jaringan Muslim Moderat" disponsori oleh Smith Richardson Foundation, sebuah yayasan yang berdiri sejak tahun 1935.
Smith
Rachardson Foundation memiliki konsen pada dua isu penting yang sangat
berpengaruh bagi kepentingan hegemoni AS, yaitu International Security
(Keamanan Internasional) dan Foreign Policy (Kebijakan Luar Negeri).
Karenanya, yayasan ini mensponsori penelitian tentang bagaimana
menciptakan "Jaringan Muslim Moderat" di berbagai belahan dunia. Meski
tak secara jelas tersirat, namun arah dari upaya membangun jaringan
muslim moderat ini sangatlah jelas, yaitu meredam, meminimalisir, bahkan
menghapuskan sama sekali kelompok-kelompok yang mereka cap sebagai
"ekstremisme Islam" dan menjadi ancaman bagi hegemoni AS. Inilah arah
dari program besar mereka.
Sebagai
negara yang mengaku super power, AS berusaha mengamankan "national
interest" (kepentingan nasional) mereka, yang lagi-lagi anehnya, AS
seolah mengklaim national interest mereka tersebar di berbagai belahan
dunia, termasuk di Indonesia. AS tidak ingin national interest mereka
itu terganggu oleh kelompok-kelompok anti Amerika, yang bisa berakibat
pada runtuhnya hegemoni mereka. Ironisnya, upaya untuk mengamankan
national interest AS dilakukan dengan cara menjajah negeri-negeri kaya,
mengeruk hasil buminya, dan menyebarkan permusuhan terhadap kelompok
fundamentalis yang berpegang teguh pada upaya-upaya penegakkan syariat
Islam. Penjajahan bidang ekonomi, dilakukan dengan cara menekan
pemerintah, G to G, agar membuat kebijakan yang menguntungkan
imprealisme mereka. Sementara penjajahan dalam bidang sosial, politik,
budaya, dan pemikiran dilakukan dengan cara menciptakan "potential
partner" (partner potensial) untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai
"ekstremisme Islam."
Siapa saja potensial partner yang direkomendasikan oleh Rand Corporation kepada AS?
Pada
ranah sosial, prioritas yang akan dirangkul oleh AS untuk membangun
saluran propaganda hegemonis mereka dan memerangi ekstremisme Islam
adalah: Pertama, intelektual atau akademisi yang sekular dan liberal.
Kedua, cendekiawan muda religius yang moderat. Ketiga, komunitas aktivis
(sekular). Keempat, kelompok perempuan yang aktif dalam propaganda
kesetaraan gender. Kelima, jurnalis dan penulis moderat. Elemen-elemen
tersebut diharapkan bisa menjadi corong propaganda dengan
program-program pendidikan demokrasi, jaringan media moderat untuk
melawan media-media konservatis Muslim yang anti terhadap demokrasi,
memasarkan ide kesetaraan gender, dan melakukan advokasi.
Dalam
pembukaan riset papernya tersebut, Rand Corporation menulis, "Kelompok
radikal telah sukses melakukan intimidasi, marginalisasi, dan
pembungkaman terhadap kelompok muslim moderat...bahkan di Indonesia
kelompok radikal relatif telah melakukan upaya pemaksaan dan ancaman
kekerasan untuk mengintimidasi kelompok yang berseberangan dengan
mereka. Ulama-ulama radikal telah mengeluarkan fatwa yang bisa menjadi
otorisasi bagi pembunuhan kelompok liberal yang dianggap murtad...".
Rand Corporation menegaskan, kelompok Muslim moderat, liberal, dan
sekular, adalah kelompok yang bisa dijadikan partner potensial dalam
melawan kelompok radikal/ekstremis Islam.Khusus untuk kelompok moderat,
Rand Corporation menambahkan istilah moderat tradisionalis, termasuk
kalangan sufi.
Berikut penjelasan dan definisi mengenai ketiga partner potensial AS dalam memerangi apa yang mereka sebut "ekstremisme Islam":
Pertama,
Kelompok sekular. Didefinisikan oleh Rand Corporation sebagai mereka
yang menolak campur tangan agama dalam urusan negara, dan berusaha
membuat undang-undang sekular sebagai konstitusi negara. Bagi mereka,
negara tak boleh memasukkan nilai-nilai agama tertentu, yang kemudian
mengintervensi hak-hak mereka secara luas. Karena itu ketika
Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi digulirkan, mereka selalu
berteriak bahwa negara tak boleh mengatur urusan privat rakyatnya,
seperti cara berpakaian, dan lain sebagainya yang dianggap sebagai hak
privasi seseorang. Intinya, negara tak boleh mengintervensi jika ada
masyarakat yang ingin menampakkan pusar, dada, ataupun paha di depan
umum, dengan alasan privasi. Kelompok sekular ini kemudian berteriak
lantang, "My body is my right, tubuhku adalah hakku". Siapa pun tak berhak mengatur atau mengintervensi.
Kelompok
Muslim liberal. Didefinisikan oleh Rand Corporation sebagai mereka yang
meyakini bahwa kebenaran nilai-nilai Islam sejalan dengan demokrasi,
pluralisme, hak asasi manusia, kebebasan individu, dan kesetaraan.
Kelompok Muslim liberal ini, menurut Rand, bisa berasal dari kalangan
muslim, yang berusaha membangun harmoni antara nilai-nilai Islam dengan
dunia modern. Rand menyebut satu contoh sosok liberal yang berasal dari
kalangan tradisionalis, yaitu Ulil Abshar Abdalla, tokoh dan penggerak
Jaringan Islam Liberal (JIL) yang kini berkiprah di Partai Demokrat.
Kelompok
moderat tradisionalis dan kalangan sufi. Didefinisikan oleh Rand
Corporation sebagai kelompok yang menentang gerakan Salafi dan Wahabi,
yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tradisi dan keyakinan
kelompok sufi.
Untuk itu, kelompok tradisional moderat yang terpancing dengan adu domba musuh-musuh Islam, membuat propaganda tentang bahaya kelompok Salafi wahabi dan memunculkan kembali pertentangan soal-soal khilafiyah yang bersifat furu’ serta membuat beragam stigamatisasi, seperti mengampanyekan bahaya “Wahabisasi global”, bahaya “ideologi trans-nasional”, bahaya ”ideologi puritan radikal” dan lain sebagainya yang justru seperti menari di atas tabuhan genderang Barat yang memang berupaya memdcah belah umat Islam.
Untuk itu, kelompok tradisional moderat yang terpancing dengan adu domba musuh-musuh Islam, membuat propaganda tentang bahaya kelompok Salafi wahabi dan memunculkan kembali pertentangan soal-soal khilafiyah yang bersifat furu’ serta membuat beragam stigamatisasi, seperti mengampanyekan bahaya “Wahabisasi global”, bahaya “ideologi trans-nasional”, bahaya ”ideologi puritan radikal” dan lain sebagainya yang justru seperti menari di atas tabuhan genderang Barat yang memang berupaya memdcah belah umat Islam.
Sedangkan kelompok sufi dirangkul untuk membentuk komunitas-komunita sufi perkotaan (urban sufism) dengan melakukan program-program kajian berkedok spiritual kebatinan dengan balutan nama keren seperti new age movement(gerakan era baru). Kelompok-kelompok ini mengajarkan meditasi, yoga, mind control,
dan lain sebagainya. Islam, bagi mereka seolah hanya perkara batin
saja, sehingga mereka membuang jauh-jauh ajaran Islam yang dianggap
sebagai radikalisme dan kekerasan, seperti ajaran tentang jihad, hukum
jinayat, amar makruf nahi munkar, dan lain sebagainya. Syariat dipahami
sebagai lelaku batin, tidak dibarengi dengan praktek lahir.Inilah yang
pada masa lalu dipropagandakan oleh orientalis Belanda, Snouck
Hurgronje,yang merekomendasikan pada penjajah Belanda agar tidak
mengganggu umat Islam yang sekadar menjalankan ritual agamanya saja,
seperti shalat, zakat, shaum, haji, dan sebagainya, namun jangan biarkan
jika mereka menumbuhkan kesadaran politik (polietik bewust) yang
bisa menjadi ancaman bagi kolonial Belanda. Snouck seolah ingin
mengatakan, jika umat Islam sudah tidak peduli lagi terhadap kesadaran
politik, kesadaran tentang penyatuan agama dan negara, maka biarkan
saja. Itu artinya, mereka telah terjebak dalam pusaran sekularisasi yang
bisa menguntungkan penjajah.
Ironisnya,
saat ini menjamur berbagai majelis-majelis zikir dengan massa yang
tumpah ruah ketika menyelenggarakan acara, konvoi di jalan-jalan,
ratusan bahkan ribuan jamaahnya, namun jarang sekali menyatakan sikap
tegas dan keras untuk menyuarakan perlawanan terhadap liberalisme,
pluralisme, sekularisme, aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah, dan
sebagainya. Bahkan, hanya terlihat seperti kerumunan (crowd)
yang sekadar unjuk kekuatan jumlah massa, namun tak memperlihatkan aksi
nyata dalam membela hak-hak umat Islam dan akidah Islam yang teraniaya.
Sebagian bahkan ada yang lebih memilih akrab dengan penguasa, meskipun
penguasa tersebut tak pernah melindung akidah kaum muslimin dari
berbagai pelecehan dan kesesatan. Sikap seperti ini bisa menimbulkan
kecurigaan, jangan-jangan mereka sudah terjebak dan terperanfkap masuk
menjadi “potential partner” asing sebagimana yang direkomendasikan Rand Corporation. Wallahu a’lam