“Sejarah Gelap Para Paus – Kejahatan, Pembunuhan, dan Korupsi di Vatikan”. Itulah
judul sebuah buku yang belum lama ini diterbitkan oleh Kelompok
Kompas-Gramedia (KKG). Edisi bahasa Inggris buku ini ditulis oleh Brenda
Ralph Lewis dengan judul Dark History of the Popes – Vice Murder and Corruption in the Vatican.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi:
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.
“Benediktus IX, salah satu paus abad
ke-11 yang paling hebat berskandal, yang dideskripsikan sebagai seorang
yang keji, curang, buruk dan digambarkan sebagai ‘iblis dari neraka
yang menyamar sebagai pendeta’. (hal.9)
Itulah sebagian
gambaran tentang kejahatan Paus Benediktus IX dalam buku ini. Riwayat
hidup dan kisah kejahatan Paus ini digambarkan cukup terperinci.
Benediktus IX lahir sekitar tahun 1012. Dua orang pamannya juga sudah
menjadi Paus, yaitu Paus Benediktus VIII dan Paus Yohanes XIX.
Ayahnya, Alberic III, yang bergelar Count Tusculum, memiliki
pengaruh kuat dan mampu mengamankan singgasana Santo Petrus bagi
Benediktus, meskipun saat itu usianya masih sekitar 20 tahunan.
Paus
muda ini digambarkan sebagai seorang yang banyak melakukan perzinahan
busuk dan pembunuhan-pembunuhan. Penggantinya, Paus Viktor III,
menuntutnya dengan tuduhan melakukan ‘pemerkosaan, pembunuhan, dan
tindakan-tindakan lain yang sangat keji’. Kehidupan Benediktus, lanjut
Viktor, ‘Begitu keji, curang dan buruk, sehingga memikirkannya saja
saya gemetar.” Benediktus juga dituduh melakukan tindak homoseksual dan
bestialitas.
Kejahatan
Paus Benediktus IX memang sangat luar biasa. Bukan hanya soal
kejahatan seksual, tetapi ia juga menjual tahta kepausannya dengan
harga 680 kg emas kepada bapak baptisnya, John Gratian. Gara-gara itu,
disebutkan, ia telah menguras kekayaan Vatikan.
Paus
lain yang dicatat kejahatannya dalam buku ini adalah Paus Sergius
III. Diduga, Paus Sergius telah memerintahkan pembunuhan terhadap Paus
Leo V dan juga antipaus Kristofer yang dicekik dalam penjara tahun
904. Dengan cara itu, ia dapat menduduki tahta suci Vatikan. Tiga
tahun kemudian, ia mendapatkan seorang pacar bernama Marozia yang baru
berusia 15 tahun.
Sergius
III sendiri lebih tua 30 tahun dibanding Marozia. Sergius dan
Marozia kemudian memiliki anak yang kelak menjadi Paus Yohanes XI,
sehingga Sergius merupakan satu-satunya Paus yang tercatat memiliki anak
yang juga menjadi Paus.
Sebuah buku berjudul Antapodosis menggambarkan situasi kepausan dari tahun 886-950 Masehi:
“Mereka
berburu dengan menunggang kuda yang berhiaskan emas, mengadakan
pesta-pesta dengan berdansa bersama para gadis ketika perburuan usai
dan beristirahat dengan para pelacur (mereka) di atas ranjang-ranjang
berselubung kain sutera dan sulaman-sulaman emas di atasnya. Semua
uskup Roma telah menikah dan istri-istri mereka membuat pakaian-pakaian
sutera dari jubah-jubah suci.”
Banyak penulis sudah mengungkap sisi gelap kehidupan kepausan. Salah satunya Peter de Rosa, penulis buku Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy. Buku
ini juga mengungkapkan bagaimana sisi-sisi gelap kehidupan dan
kebijakan tahta Vatikan yang pernah melakukan berbagai tindakan
kekejaman, terutama saat menerapkan Pengadilan Gereja (Inquisisi).
Kekejaman Inquisisi sudah sangat masyhur dalam sejarah Eropa. Karen
Armstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menyebutkan, bahwa
Inquisisi adalah salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat (one of the most evil of all Christian institutions). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991).
Inquisisi
diterapkan terhadap berbagai golongan masyarakat yang dipandang
membahayakan kepercayaan dan kekuasaan Gereja. Buku Brenda Ralph Lewis
mengungkapkan dengan cukup terperinci bagaimana Gereja menindas
ilmuwan seperti Galileo Galilei dan kawan-kawan yang mengajarkan teori
heliosentris. Galileo (lahir 1564 M) melanjutkan teori yang
dikemukakan oleh ahli astronomi asal Polandia, Nikolaus Copernicus.
Tahun 1543, tepat saat kematiannya, buku Copernicus yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, diterbitkan.
Tahun 1616, buku De Revolutionibus dimasukkan
ke dalam daftar buku terlarang. Ajaran heliosentris secara resmi
dilarang Gereja. Tahun 1600, Giordano Bruno dibakar hidup-hidup sampai
mati, karena mengajarkan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Lokasi pembakaran Bruno di Campo de Fiori, Roma, saat ini didirikan
patung dirinya.
Melihat situasi seperti itu, Galileo yang saat itu sudah berusia lebih dari 50 tahun, kemudian memilih sikap diam.
Pada
22 Juni 1633, setelah beberapa kali dihadirkan pada sidang Inquisisi,
Galileo diputus bersalah. Pihak Inquisisi menyatakan bahwa Galileo
bersalah atas tindak kejahatan yang sangat mengerikan. Galileo pun
terpaksa mengaku, bahwa dia telah bersalah. Bukunya, Dialogo, telah
dilarang dan tetap berada dalam indeks Buku-Buku Terlarang sampai
hampei 200 tahun. Galileo sendiri dihukum penjara seumur hidup. Ia
dijebloskan di penjara bawah tanah Tahta Suci Vatikan. Pada 8 Januari
1642, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya ke-78, Galileo meninggal
dunia. Tahun 1972, 330 tahun setelah kematian Galileo, Paus Yohanes
Paulus II mengoreksi keputusan kepausan terdahulu dan membenarkan
Galileo.
Kisah-kisah
kehidupan gelap para Paus serta berbagai kebijakannya yang sangat
keliru banyak terungkap dalam lembaran-lembaran sejarah Eropa. Peter de
Rosa, misalnya, menceritakan, saat pasukan Napoleon menaklukkan
Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski,
melaporkan bahwa pastor-pastor Dominikan mengurung diri dalam biara
mereka di Madrid.
Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu
tidak mengakui adanya ruang-ruang penyiksaan dalam biara mereka.
Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat
penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan
tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa di antaranya
gila.
Pasukan
Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai
merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan
ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakaan biara tersebut.
Kejahatan
penguasa-penguasa agama ini akhirnya berdampak pada munculnya gerakan
liberalisasi dan sekularisasi di Eropa. Masyarakat menolak campur
tangan agama (Tuhan) dalam kehidupan mereka.
Sebagian
lagi bahkan menganggap agama sebagai candu, yang harus dibuang,
karena selama ini agama digunakan alat penindas rakyat. Penguasa agama
dan politik bersekutu menindas rakyat, sementara mereka hidup
berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Salah satu contoh adalah
Revolusi Perancis (1789), yang mengusung jargon “Liberty, Egality, Fraternity”.
Pada
masa itu, para agamawan (clergy) di Perancis menempati kelas istimewa
bersama para bangsawan. Mereka mendapatkan berbagai hak istimewa,
termasuk pembebasan pajak. Padahal, jumlah mereka sangat kecil, yakni
hanya sekitar 500.000 dari 26 juta rakyat Prancis.
Dendam
masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang
bersekutu dengan penguasa yang menindas rakyat semacam itu juga
berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak
heran, jika pada era berikutnya, muncul sikap anti pemuka agama, yang
dikenal dengan istilah “anti-clericalism”. Trauma terhadap Inquisisi
Gereja dan berbagai penyimpangan kekuasaan agama sangatlah mendalam,
sehingga muncul fenomena “anti-clericalism” tersebut di Eropa
pada abad ke-18. Sebuah ungkapan populer ketika itu, ialah:
“Berhati-hatilah, jika anda berada di depan wanita, hatilah-hatilah
anda jika berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada
di depan atau di belakang pendeta.” (Beware of a woman if you are in front of her, a mule if you are behind it and a priest whether you are in front or behind).” (Owen Chadwick, The Secularization of the European Mind in the Nineteenth Century, (New York: Cambridge University Press, 1975).
Trauma
pada dominasi dan hegemoni kekuasaan agama (Kristen) itulah yang
memunculkan paham sekularisme dalam politik, yakni memisahkan antara
agama dengan politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama
dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”; agama
haruslah dipisahkan dari negara. Agama dianggap sebagai wilayah pribadi
dan politik (negara) adalah wilayah publik; agama adalah hal yang suci
sedangkan politik adalah hal yang kotor dan profan.
Trauma Barat terhadap sejarah keagamaan mereka berpengaruh besar terhadap cara pandang mereka terhadap agama. Jika disebut kata “religion” maka yang teringat dalam benar mereka adalah sejarah agama Kristen, lengkap dengan doktrin, ritual, dan sejarahnya yang kelam yang diwarnai dengan inquisisi dan sejarah persekusi para ilmuwan.
Berbagai
penyelewengan penguasa agama, dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen
kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus
menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja
sudah tergoyangkan.
Kaum
Muslim, perlu mengambil hikmah dari kasus kejahatan para pemimpin
Gereja ini. Ketika para tokoh agama tidak mampu menyelaraskan antara
ucapan dan perilakunya, maka masyarakat akan semakin tidak percaya,
bahkan bias “alergi” dengan agama. Jika orang-orang yang sudah
terlanjur diberi gelar — atau memberi gelar untuk dirinya sendiri –
sebagai “ULAMA”, tidak dapat mempertanggungjawabkan amal perbuatannya,
maka bukan tidak mungkin, umat akan hilang kepercayaannya kepada para
ulama. Mereka akan semakin jauh dari ulama dan lebih memuja selebriti –
baik selebriti seni maupun politik.
Kasus
yang menimpa sejumlah tokoh agama Katolik itu dapat juga menimpa
agama mana saja. Jika tokoh-tokoh partai politik Islam tidak dapat
memegang amanah — sibuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya,
tak henti-hentinya mempertontonkan konflik dan pertikaian – maka bukan
tidak mungkin, umat akan lari dari mereka dan partai mereka.
Jika
para pimpinan pesantren tidak dapat memegang amanah, para ulama sibuk
mengejar keuntungan duniawi, dan sebagainya, maka umat juga akan
lari dari mereka. Jika orang-orang yang dianggap mengerti agama tidak
mampu menjadi teladan bagi masyarakat, tentu saja sulit dibayangkan
masyarakat umum akan sudi mengikuti mereka.
Semoga kita dapat mengambil hikmah dari semua kisah ini, untuk kebaikan umat Islam di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar