Betapa dalamnya isi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَنْ لَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ أَضْغَانَهُمْ(29)
وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ(30)
Atau
apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah
tidak akan menampakkan kedengkian mereka? (QS Muhammad: 29).
Dan
kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga
kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu
benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan
Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. (QS Muhammad: 30).
Imam Ibnu Katsir memaknakan lahnul qaul
adalah apa-apa yang muncul dari pembicaraan mereka yang menunjukkan
atas maksud-maksud mereka, (di mana) pembicara difahami dari kelompok
mana dia dengan makna-makna dan maksud pembicaraannya. Itulah yang dimaksud dengan lahnul qaul. (Tafsir Ibnu Katsir QS Muhammad ayat 30).
Di tahun 2007 membuat tulisan tentang kesamaan umat Islam, Nasrani dan Yahudi di mata Allah. (Majalah MADINA No. 06/Tahun I, Juni 2008, hal. 9)
Di tahun 2007 membuat tulisan tentang kesamaan umat Islam, Nasrani dan Yahudi di mata Allah. (Majalah MADINA No. 06/Tahun I, Juni 2008, hal. 9)
Setiap membaca tulisan Ahmad Syafii Maarif di Harian Republika,
saya merasa sedih: mengapa orang seusia beliau belum juga mendapat
hidayah dari Allah? Setiap membaca tulisannya yang berbau agama (Islam)
ada saja yang berorientasi kepada membela kekafiran, sepilis (sekularisme, pluralisme agama dan liberalisme) yang merupakan casing baru untuk isi yang sama yaitu enggan terhadap perintah agama, bahkan anti agama. Bagi sebagian orang, sepilis adalah bentuk baru dari komunisme atau bisa disebut dengan istilah neo-komunisme.
Bila
komunisme pada masa sebelumnya bersikap frontal terhadap agama (Islam),
kini para neo-komunis itu tidak terlalu berani frontal tetapi justru
berbaju Islam. Meski berbaju Islam, namun orientasinya berbeda: ketika
berbicara tentang Islam, yang mereka tawarkan justru keragu-raguan,
membingungkan dan melecehkan atas nama pembaharuan pemikiran Islam serta
anti kejumudan.
Salah satu pelakonnya adalah tokoh
sepuh kita yaitu Ahmad Syafii Maarif, kelahiran Sumpurkudus (Sumatera
Barat) tanggal 31 Mei 1935, yang pernah meraih gelar Doktor di
Universitas Chicago, Amerika Serikat, tahun 1982.
Tiga tahun lalu, ketika Ahmad Syafii Maarif berusia 70 tahun, ia mempopulerkan istilah preman berjubah yang ditujukannya kepada sekelompok Ummat Islam. Istilah itu digunakan sebagai judul tulisan pada kolom Resonansi pada harian Republika
(Agustus 2005). Setahun kemudian (Mei 2006) istilah itu diluncurkannya
kembali ketika diwawancarai sebuah stasiun televisi yang mengangkat tema
Sewindu Reformasi.
Istilah
preman berjubah itu kemudian digunakan juga oleh para penganut
neo-komunis muda seperti Rieke Dyah Pitaloka dan Taufiq dari Aliansi
Masyarakat Anti Kekerasan (AMAK) –meski menggunakan label anti kekerasan,
ternyata mereka menggunakan kata-kata kasar untuk menyerang lawan
bicaranya. Hal itu terjadi ketika di Metro TV (Mei 2006) mereka menjadi
salah satu peserta dialog berkenaan dengan kasus Pengusiran_ Gus Dur
oleh anggota salah satu ormas Islam di Purwakarta Jawa Barat.
Saat
itu (Selasa 23 Mei 2006) berlangsung dialog bertema Dialog Lintas Agama
dan Etnis, Merajut Cinta yang Terserak_ di Gedung PKK Jalan RE
Martadinata Purwakarta. Gus Dur sebagai keynote speaker,
menegaskan kembali penolakannya terhadap RUU Anti Pornografi dan
Pornoaksi. Selain itu, Gus Dur juga menuding aksi sejuta Ummat yang
berlangsung dua hari sebelumnya di Jakarta, dibiayai oleh pihak ketiga dan hanya dihadiri oleh kurang dari 100.000 orang (bukan sejuta orang).
Seusai
Gus Dur berbicara, Asep Hamdani (koordinator FPI Purwakarta) meminta
izin kepada panitia untuk melakukan klarifikasi atas tuduhan Gus Dur.
Asep Hamdani menyatakan, kesertaan ormas Islam dalam aksi sejuta Ummat
adalah murni untuk perjuangan Islam sekaligus mewakili masyarakat. Dalam
kesempatan itu dia juga dengan tegas meminta agar Gus Dur meminta maaf
atas tuduhan itu. Bila tidak, Asep Hamdani menyilakan Gus Dur
meninggalkan Purwakarta.
Kalau toh Gus Dur akhirnya meninggalkan forum, itu semata-mata karena peranannya sebagai keynote speaker
sudah ditunaikan, dan GUS DUR bergegas menghadiri acara lain di tempat
berbeda. Namun, yang beredar di luaran adalah fitnah yang
menjelek-jelekkan Islam. Yaitu, Gus Dur diusir oleh penjahat berjubah
Islam._ Fitnah itu bersumber dari aktivis AMAK yang kemudian diteruskan
tanpa tabayyun oleh Drs H. Agung Nurhalim (Ketua Korwil Garda
Bangsa Jawa Barat). Dari Agung, informasi itu kemudian disebarluaskan
oleh harian Surya (edisi 24 Mei 2006) dan harian Pikiran Rakyat (edisi 24 Mei 2006), juga RCTI (Seputar Indonesia, edisi 24 Mei 2006).
Watak anti Islam
Begitulah
watak para neo-komunis, meski secara formal beragama Islam, namun
begitu ada kesempatan untuk menjelek-jelekkan Islam, mereka langsung
tancap gas. Istilah penjahat berjubah pun berganti menjadi preman
berjubah. Dan Ahmad Syafii Maarif sangat ‘berjasa’ memberikan inspirasi
dan dorongan kepada para neo-komunis muda seperti Rieke Dyah Pitaloka
dan Taufiq (AMAK).
Tudingan kasar seperti preman berjubah hanyalah salah satu saja dari kosa kata yang pernah dilontarkan Ahmad Syafii Maarif, selainnya adalah ejekan vulgar: tak sederhana, kedunguan, kebahlulan, pernah ia gunakan untuk menjuluki orang Islam yang dianggapnya tidak lebih pintar dari dirinya.
Ada sikap keberagamaan Ahmad Syafii Maarif yang konsisten dan sejalan dengan kaum sepilis,
yaitu bahwa meski seseorang itu tidak beriman kepada Allah, namun
berkat amal salehnya ia akan mendapat ganjaran setimpal. Sikap
keberagamaan seperti ini sering diulang-ulang oleh Ahmad Syafii Maarif
antara lain ketika ia membahas soal tafsir buya HAMKA terhadap surat Al-Baqarah ayat 62 dan surat Al-Maidah ayat 69 (harian Republika, rubrik Resonansi,
Selasa, 21 Nopember 2006), yang oleh Irena Handono dikatakan sebagai
pemahaman yang berkabut bahkan menelikung pemikiran buya HAMKA.
Ahmad SyafiI Maarif mantan ketua Muhammadiyah itu menulis di rubrik resonansi Republika berjudul Hamka tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah.
(Republika, Selasa 21 November 2006/ 29 Syawal 1427H, halaman 12).
Isinya untuk mendukung faham pluralisme agama, menyamakan semua agama,
masuk surga semua.
Itu menjadikan Hamka sebagai tameng. Padahal Hamka dalam Tafsirnya, Al-Azhar, juz 6 halaman 325, Hamka menegaskan, yang iman itu yang terbuka hatinya menerima wahyu yang dibawa oleh sekalian Nabi, sampai kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Entah
apa yang mempengaruhi mekanisme ruhani dan benak orang-orang seperti
Ahmad Syafii Maarif dan sebagainya yang lebih menonjol ghirah
pembelaannya terhadap non Muslim, seraya mengolok-olok saudaranya seiman
dengan sebutan yang aneh-aneh. Entah peradaban apa yang hendak dibangun
beliau, yang terkesan asysyida-u ‘alal muslimin ruhama-u bainal kuffar (bersikap keras terhadap Muslimin dan saling kasih sayang di antara para kafirin).
Mereka
bersusah-payah mengajak kaum muslimin untuk bersikap seperti mereka,
yaitu mengikuti sikap keberagamaan yang menyatakan bahwa semua agama itu
sama, hanya caranya saja berbeda-beda. Koq sampai sebegitu
repotnya? Padahal, orang-orang kafir sendiri tidak mau disamakan dengan
orang Islam. Bahkan orang Protestan tidak mau disama-samakan dengan
Katholik meski sama-sama bersikap musyrik yaitu mempertuhankan Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai Tuhan anak yang mendampingi Tuhan Bapak.
Jemaat
Gereja Bethel tidak mau disamakan dengan jemaat Gereja Nehemia. Begitu
seterusnya. Bahkan sebagian besar sekte Kristen mengkafirkan penganut
Kristen dari sekte Saksi Jehovah yang hanya_ memposisikan Yesus sebagai
nabi semata. Seperti Ahmadiyah Qadiyan yang menganggap sesat Ahmadiyah Lahore karena menjadikan Mirza Ghulam Ahmad hanya_ sebagai mujaddid.
Dalam tulisannya di harian Republika (rubrik Resonansi
27 Mei 2008), Ahmad Syafii Maarif menunjukkan ghirahnya membela kaum
atheis. Padahal, kaum atheis belum tentu membutuhkan dukungan Ahmad
Syafii Maarif. Bahkan belum tentu kaum atheis merasa senang dengan
pemahaman Ahmad Syafii Maarif yang berpendirian bahwa kaum anti agama
itu bisa masuk surga juga karena amal salehnya. Pada tulisannya berjudul
Kaum Ateis Pun Berhak Hidup di Muka Bumi itu, Maarif memahami
firman Allah pada surat Yunus ayat 99; Al-Baqarah ayat 256 dan Al-Isra
ayat 107 sebagai hak yang Allah berikan kepada manusia berupa kebebasan
untuk beriman atau tidak beriman.
Jadi,
karena beriman atau tidak merupakan hak manusia, maka apapun pilihannya
meski manusia itu memilih tidak beriman, tidak akan ada sanksi apa-apa.
Dan, akan semakin banyaklah orang-orang yang memilih turut ke dalam
barisan tidak beriman dalam rangka memenuhi haknya yang telah diberikan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Begitu
tingginya apreasiasi Ahmad Syafii Maarif kepada kalangan non Islam
(termasuk kalangan atheis), sampai-sampai kita tidak pernah mendengar
pembelaan beliau terhadap orang kecil yang dilarang berjilbab hanya
untuk menjadi cleaning service atau office girl di
sebuah perkantoran. Atau, barangkali Ahmad Syafii Maarif belum pernah
tahu tentang adanya kebijakan di sejumlah perusahaan yang melarang
eksekutifnya memelihara jenggot.
Kalau
hak-hak orang atheis saja sampai menjadi sorot perhatian beliau,
seharusnya hak menjalankan Islam bagi kayawan dan karyawati yang
diabaikan oleh majikannya justru lebih dahulu bisa masuk ke dalam sorot
perhatian Ahmad Syafii Maarif. Sayangnya, justru sebaliknya.
Semoga
virus berbahaya berupa ghirah kafiriyah yang disebarkan Ahmad Syafii
Maarif itu hanya terpulang kepadanya. Tidak berbekas sama sekali.
Cukuplah petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat indah yang berisi agar Allah hilangkan kedengkian di hati kita terhadap orang-orang yang beriman.
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلاًّ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ
رَحِيمٌ(10)
Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka
berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Hasyr: 10). (haji/tede)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar