“Di Bazel saya mendirikan negara
Yahudi…Barangkali dalam waktu lima tahun, dalam limapuluh tahun, orang
niscaya akan menyaksikannya” (Theodore Herzl)
“Kita harus memaksa pemerintahan bukan-Yahudi untuk menerima
langkah-langkah yang akan meningkatkan secara luas rencana yang telah
kita buat yang telah kian dekat dengan tujuannya dengan cara meletakkan
tekanan pada pendapat umum yang telah kita agendakan yang harus didorong
oleh kita dengan bantuan apa yang dinamakan ‘kekuatan besar’ pers.
Dengan sedikit perkecualian, tak perlu terlalu dipikirkan, kekuatan itu
telah berada dalam genggaman kita”. (‘Protokol Zionis Ketujuh’)
‘Zionisme’ berasal dari kata Ibrani “zion” yang artinya karang.
Maksudnya merujuk kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di
atas sebuah bukit karang bernama ‘Zion’, terletak di sebelah barat-daya
Al-Quds (Jerusalem). Bukit Zion ini menempati kedudukan penting dalam
agama Yahudi, karena menurut Taurat, “Al-Masih yang dijanjikan akan
menuntun kaum Yahudi memasuki ‘Tanah yang Dijanjikan’. Dan Al-Masih akan
memerintah dari atas puncak bukit Zion”. Zion dikemudian hari
diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu sendiri.
Zionisme kini tidak lagi hanya memiliki makna keagamaan, tetapi
kemudian beralih kepada makna politik, yaitu suatu gerakan pulangnya
‘diaspora’ (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia
untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai
tanah-air bangsa Yahudi dengan Jerusalem sebagai ibukota negaranya.
Istilah Zonisme dalam makna politik itu dicetuskan oleh Nathan Bernbaum,
dan ‘Zionisme Internasional’ yang pertama berdiri di New York pada
tanggal 1 Mei 1776, dua bulan sebelum kemerdekaan Amerika-Serikat
dideklarasikan di Philadelpia.
Gagasan itu mendapatkan dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte
ketika ia merebut dan menduduki Mesir. Untuk memperoleh bantuan keungan
dari kaum Yahudi, Napoleon pada tanggal 20 April 1799 mengambil hati
dengan menyerukan, ‘Wahai kaum Yahudi, mari membangun kembali kota
Jerusalem lama”. Sejak itu gerakan untuk kembali ke Jerusalem menjadi
marak dan meluas.
Adalah Yahuda al-Kalai (1798-1878), tokoh Yahudi pertama yang
melemparkan gagasan untuk mendirikan sebuah negara yahudi di Palestina.
Gagasan itu didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui
bukunya yang ditulis dalam bahasa Ibrani ‘Derishat Zion’ (1826), berisi
studi tentang kemungkinan mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina.
Buku itu disusul oleh tulisan Moses Hess dalam bahasa Jerman,
berjudul ‘Roma und Jerusalem’ (1862), yang memuat pemikiran tentang
solusi “masalah Yahudi” di Eropa dengan cara mendorong migrasi orang
Yahudi ke Palestina. Menurutt Hess kehadiran bangsa Yahudi di Palestina
akan turut membantu memikul “misi orang suci kulit putih untuk
mengadabkan bangsa-bangsa Asia yang masih primitif dan memperkenalkan
peradaban Barat kepada mereka”. Buku ini memuat pemikiran awal
kerja-sama konspirasi Yahudi dengan Barat-Kristen menghadapi
bangsa-bangsa Asia pada umumnya, dan dunia Islam pada khususnya. Untuk
mendukung gagasan itu berdirilah sebuah organisasi mahasiswa Yahudi
militan bernama ‘Ahavat Zion’ di St.Petersburg, Rusia, pada tahun 1818,
yang menyatakan bahwa, “setiap anak Israel mengakui bahwa tidak akan ada
penyelamatan bagi Israel, kecuali mendirikan pemerintahan sendiri di
Tanah Israel (Erzt Israel)”1.
Konsepsi tentang wilayah dan batas-batas negara Israel didasarkan
pada Kitab Taurat. Berdasarkan Taurat, wilayah Israel luasnya “dari
sungai Nil sampai sungai Tigris” yang kira-kira mendekati kekuasaan
Emporium Assyria (sekitar 640 Sebelum Masehi)
Buku Moses Hess ‘Roma und Jerusalem’ (1862) mendapat perhatian dan
dukungan dari tokoh-tokoh kolonialis Barat karenan beberpa pertimbangan,
:
1. Adanya konfrontasi antara Eropa dengan daulah Usmaniyah Turki di Timur Tengah
2. Bangsa-bangsa Eropa membutuhkan suatu ‘bastion’
(bentang/pertahanan-red.) politik yang kuat di Timur Tengah dan ketika
kebutuhan itu muncul orang Yahudi menawarkan diri secara sukarela
menjadi proxi (wakil-red.) negara-negara Eropa.
3. Kebutuhan bangsa-bangsa Eropa itu sesuai dengan aspirasi kaum Yahudi untuk kembali ke Plaestina.
4. Gerakan Zionisme akan berfungsi membantu memecahkan “masalah Yahudi” di Eropa
Kongres Zionist pertama di Bazel, 1897
Perlu dicatat bahwa gerakan Zionisme mulai mendapatkan momentumnya
berkat bantuan dana keuangan tanpa reserve (tanpa batas-red.) dari Mayer
Amschel Rothschilds (1743-1812) dari Frankfurt, pendiri dinasti
Rothschilds, keluarga Yahudi Paling kaya di dunia.
Pendukung kuat dari kalangan poitisi Eropa terhadap gerakan Zionisme
datang terutama dari Llyod Gerge (perdana menteri Inggris), Arthur
Balfour (menteri luar-negeri Inggris), Herbert Sidebotham (tokoh militer
Inggris), Mark Sykes, Alfred Milner, Ormsby-Gore, Robert Cecil, J.S.
Smuts, dan Richard Meinerzhagen.
Sebenarnya sejak tahun 1882 Sultan Abdul Hamid II telah mengeluarkan
sebuah dekrit yang berbunyi, meski sultan “sepenuhnya siap untuk
mengizinkan orang Yahudi beremigrasi ke wilayah kekuasaannya, dengan
syarat mereka menjadi kawula daulah Usmaniyah tetapi baginda tidak akan
mengizinkan mereka meneap di Palestina”2. Alasan pembatasa ini karena,
“Emigrasi kaum Yahudi di masa depan akan membuahkan sebuah negara
Yahudi”3.
Pada waktu itu sebelum imigrasi kaum Yahudi yang massif (secara
besar-besaran-red.) dimulai kira-kira hanya ada 250.000 jiwa orang
Yahudi di antara 0,5 juta jiwa penduduk Arab di Palestina4. Meski ada
titah sultan tersebut, arus imigrasi orang Yahudi tetap berhasil
menerobos masuk ke Palestina secara diam-diam dan berlanjut bahkan
melalui cara sogok sekalipun5.
Menjelang 1891 beberapa pengusaha Palestina mengungkapkan
keprihatinan mereka mengenai kian meningkatnya imigran Yahudi, sehingga
menganggap perlu mengirimkan telegram ke Istambul menyampaikan keluhan
tentang kekhawatiran itu yang mereka simpulkan akan mampu memonopoli
perdagnagn yang akan menjadi ancaman bagi kepentingan bisnis setempat,
yang pada gilirannya akan menjadi ancaman politik6.
Pada tahun 1897, tahun yang bersamaan dengan ‘Kongres Zionisme I’,
mufti Jerusalem, Muhammad Tahir Husseini, ayah dari Hajj Amin Husseini,
memimpin sebuah komisi yang dibentuk khusus untuk memepelajari masalah
penjualan tanah penduduk Arab kepada orang Yahudi. Resolusi komisi
tersebut berhasil meyakinkan pemerintah kesultanan Usmaniyah
mengeluarkan peraturan yang melarang penjualan tanah milik penduduk Arab
kepada orang Yahudi di daerah Jerusalem untuk beberapa tahun7.
Theodore Herzl berfoto bersama tentara Turki di Crete, 1898, setelah ia
bersama delegasi Zionist menemui Sultan Abdul Hamid II
Gagasan tentang gerakan Zionisme, yaitu suatu gerakan politik untuk
mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, mulai memperlihatkan
konsepnya yang jelas dalam buku ‘Der Judenstaat’ (1896) yang ditulis
oleh seorang tokoh Yahudi, yang kemudian dipandang sebagai Bapak
Zionisme, Theodore Herzl (1860-1904). Ia salah seorang tokoh besar
Yahudi dan Bapak Pendiri Zionisme modern, barangkali eksponen (yang
menerangkan/menguraikan-red.) filosof tentang eksistensi bangsa Yahudi
yang memiliki pandangan paling jauh ke depan yang dimiliki generasi
Yahudi di sepanjang sejarah mereka. Ia tidak pernah ragu akan adanya
“bangsa Yahudi”. Ia menyatakan tentang eksistensi itu pada setiap
kesempatan yang ada. Katanya’ “Kami adalah suatu bangsa – Satu Bangsa”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar