Islam Liberal atau JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah kemasan baru dari kelompok lama yang orang-orangnya dikenal nyeleneh. Kelompok nyeleneh itu setelah berhasil memposisikan orang-orangnya dalam jajaran yang mereka sebut pembaharu atau modernis, kini melangkah lagi dengan kemasan barunya, JIL. Mula-mula yang mereka tempuh adalah mengacaukan istilah. Mendiang Dr Harun Nasution direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta berhasil mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai pembaharu. Di antaranya Rifa'at At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang menghalalkan dansa-dansi laki perempuan campur aduk) oleh Harun Nasution diangkat-angkat sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad.
Hingga
posisi penyebar faham menyeleweng itu justru didudukkan sebagai
pembaharu atau modernis (padahal penyeleweng agama). Akibatnya,
dikesankanlah bahwa posisi Rifa'at At-Thahthawi itu sejajar dengan
Muhammad bin Abdul Wahab pemurni ajaran Islam di Saudi Arabia. Padahal
hakekatnya adalah dua sosok yang berlawanan. Yang satu mengotori
pemahaman Islam, yang satunya memurnikan pemahaman Islam. Pemutar
balikan fakta dan istilah itu disebarkan Harun Nasution secara resmi di
IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia lewat buku-bukunya, di
antaranya yang berjudud Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, terbit sejak 1975.
Pengacauan
istilah itu dilanjutkan pula oleh tokoh utama JIL yakni Nurcholish
Madjid. Dia menggunakan cara-cara Darmogandul dan Gatoloco, yaitu sosok
penentang dan penolak syari'at Islam di Jawa yang memakai cara:
Mengembalikan istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan pengertiannya.
Darmogandul dan Gatoloco itu menempuh jalan: Mengembalikan istilah
kepada bahasa, kemudian bahasa itu diberi makna semaunya, lalu dari
makna bikinannya itu dijadikan hujjah/ argument untuk menolak syari'at
Islam.
Coba
kita bandingkan dengan yang ditempuh oleh Nurcholish Madjid: Islam
dikembalikan kepada al-Din, kemudian dia beri makna semau dia yaitu
hanyalah agama (tidak punya urusan dengan kehidupan dunia, bernegara),
lalu dari pemaknaan yang semaunya itu untuk menolak diterapkannya
syari'at Islam dalam kehidupan. Kalau dicari bedanya, maka Darmogandul
dan Gatoloco menolak syari'at Islam itu untuk mempertahankan
Kebatinannya, sedang Nurcholish Madjid menolak syari'at Islam itu untuk
mempertahankan dan memasarkan Islam Liberal dan faham Pluralismenya. Dan
perbedaan lainnya, Darmogandul dan Gatoloco adalah orang bukan Islam,
sedang Nurcholish Madjid adalah orang Islam yang belajar Islam di
antaranya di perguruan tinggi Amerika, Chicago, kemudian mengajar pula
di perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia. Hanya saja cara-cara
menolak Syari'at Islam adalah sama, hanya beda ungkapan-ungkapannya,
tapi caranya sama.
Untuk lebih jelasnya, mari kita simak kutipan tulisan Nurcholish Madjid sebagai berikut: Kutipan: "…sudah
jelas, bahwa fikih itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis,
sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang.
Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan
modern, memerlukan pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan modern
dalam segala aspeknya, sehingga tidak hanya menjadi kompetensi dan
kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka,
hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum
yang meliputi semua orang, untuk mengatur kehidupan bersama." (Artikel
Nurcholish Madjid).
Tanggapan:
Kalau
Gatoloco menolak syari'at dengan cara mengkambing hitamkan kambing
curian, maka sekarang generasi Islam Liberal menolak syari'ah dengan
meganggap fiqh sudah kehilangan relevansinya. Sebenarnya, sekali lagi,
sama saja dengan Gatoloco dan Darmogandul itu tadi.
Tuduhan
bahwa fiqh telah kehilangan relevansinya, itu adalah satu pengingkaran
yang sejati. Dalam kenyataan hidup ini, di masyarakat Islam, baik
pemerintahnya memakai hukum Islam (sebut saja hukum fiqh, karena memang
hukum praktek dalam Islam itu tercakup dalam fiqh) maupun tidak, hukum
fiqh tetap berlaku dan relevan. Bagaimana umat Islam bisa berwudhu,
sholat, zakat, puasa, nikah, mendapat bagian waris, mengetahui yang
halal dan yang haram; kalau dia anggap bahwa fiqh sudah kehilangan
relevansinya? Bahkan sampai di zaman modern sekarang ini pun, manusia
yang mengaku dirinya Muslim wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang
haram. Untuk itu dia wajib mengetahui mana saja yang haram. Dan itu
perinciannya ada di dalam ilmu fiqh. Seorang ahli tafsir, Muhammad Ali
As-Shobuni yang jelas-jelas menulis kitab Tafsir Ayat-ayat Hukum,
Rowaai'ul Bayan, yang dia itu membahas hukum langsung dari Al-Qur'an
saja masih menyarankan agar para pembaca merujuk kepada kitab-kitab fiqh
untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas lagi. Tidak cukup hanya dari
tafsir ayat ahkam itu.
Faham JIL
Secara mudahnya, JIL itu menyebarkan faham yang menjurus kepada pemurtadan. Yaitu sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme agama.Sekulerisme adalah faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada urusan dengan dunia, negara dan sebagainya. Inklusifisme adalah faham yang menganggap agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi, mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh mengakui bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham pemurtadan). Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis
(ISLAM=AGAMA
FIR’AUN (PENYEMBAH DEWA), ISLAM=MAJUSI(PENYEMBAH API), ISLAM=KRISTEN
(KONSEP 3 TUHAN), ISLAM=BUDHA, HINDU, YAHUDI, KONGHUCU, KEBATINAN,
ANIMISME, DINAMISME, KABBALAH, FREEMASONRY, INTINYA SEMUANYA SAMA SAJA)
(AGEN INTELLIGENT ASING MENGHARAPKAN DENGAN METODE INI UMAT ISLAM LEMAH
BERPEGANGNYA PADA SYARIAHNYA SEHINGGA TIDAK AKAN BANGKIT LAGI SELAMANYA
(HUKUM YG BERSUMBER PADA ALQURAN DAN AS-SUNNAH). Dan
kita tidak boleh memandang agama orang lain dengan memakai agama yang
kita peluk. (Ini sudah lebih jauh lagi pemurtadannya).
Jadi
faham yang disebarkan oleh JIL itu adalah agama syetan, yaitu
menyamakan agama yang syirik dengan yang Tauhid. Tampaknya orang-orang
yang pikirannya kacau dan membuat kekacauan agama seperti itu adalah
yang telah merasakan celupan dari pendeta, atau Yahudi, atau Barat, atau
yang dari awalnya bergaul di lingkungan faham sesat Ahmadiyah dan
sebagainya atau di lingkungan ahli bid'ah. Berikut ini contoh nyata,
Ahmad Wahib yang mengaku sekian tahun diasuh oleh pendeta dan Romo.
Kemudian fahamnya yang memurtadkan pun disebarkan oleh Johan Effendi,
tokoh JIL yang jelas-jelas anggota resmi aliran sesat Ahmadiyah. Di
antara fahamnya sebagai berikut:Ahmad Wahib Menafikan Al-Qur'an dan
Hadits sebagai Dasar IslamSetelah Ahmad Wahib berbicara tentang Allah
dan Rasul-Nya dengan dugaan dugaan, "menurut saya" atau "saya pikir",
tanpa dilandasi dalil sama sekali, lalu di bagian lain, dalam Catatan
Harian Ahmad Wahib ia mencoba menafikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai
dasar Islam.
Dia ungkapkan sebagai berikut:
Kutipan: "
Menurut saya sumber-sumber pokok untuk mengetahui Islam atau katakanlah
bahan-bahan dasar ajaran Islam, bukanlah Qur'an dan Hadits melainkan
Sejarah Muhammad. Bunyi Qur'an dan Hadits adalah sebagian dari sumber
sejarah dari sejarah Muhammad yang berupa kata-kata yang dikeluarkan
Muhammad itu sendiri. Sumber sejarah yang lain dari Sejarah Muhammad
ialah: struktur masyarakat, pola pemerintahannya, hubungan luar
negerinya, adat istiadatnya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi
sahabat-sahabatnya dan lain-lainnya." (Catatan Harian Ahmad Wahib, hal
110, tertanggal 17 April 1970).
Tanggapan:
Ungkapan
tersebut mengandung pernyataan yang aneka macam.Menduga-duga bahwa
bahan-bahan dasar ajaran Islam bukanlah Al-Quran dan Hadits Nabi saw.
Ini menafikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar Islam.Al-Qur'an dan
Hadits adalah kata-kata yang dikeluarkan oleh Muhammad itu sendiri. Ini
mengandung makna yang rancu, bisa difahami bahwa itu kata-kata Muhammad
belaka. Ini berbahaya dan menyesatkan. Karena Al-Qur'an adalah wahyu
dari Allah SWT yang dibawa oleh Malaikat Jibril, disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw, diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih.
Jadi Al-Qur'an itu Kalamullah, perkataan Allah, bukan sekadar kata-kata
yang dikeluarkan Muhammad itu sendiri seperti yang dituduhkan Ahmad
Wahib.
Allah SWT menantang orang yang ragu-ragu:
"Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal
Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar."
(QS Al-Baqarah: 23).
Al-Qur'an
dan Hadits dia anggap hanya sebagian dari sumber sejarah Muhammad, jadi
hanya bagian dari sumber ajaran Islam, yaitu Sejarah Muhammad. Ini
akal-akalan Ahmad Wahib ataupun Djohan Effendi, tanpa berlandaskan
dalil.
Al-Qur'an
dan Hadits disejajarkan dengan iklim Arab, adat istiadat Arab dan
lain-lain yang nilainya hanya sebagai bagian dari Sejarah Muhammad. Ini
menganggap Kalamullah dan wahyu senilai dengan iklim Arab, adat Arab dan
sebagainya. Benar-benar pemikiran yang tak bisa membedakan mana emas
dan mana tembaga. Siapapun tidak akan menilai berdosa apabila melanggar
adat Arab.Tetapi siapapun yang konsekuen dengan Islam pasti akan menilai
berdosa apabila melanggar Al-Qur'an dan AAs-Sunnah. Jadi tulisan Ahmad
Wahib yang disunting Djohan Effendi iitu jjelas mmerusak pemahaman Islam
dari akarnya. Ini sangat berbahaya, karena landasan Islam yakni
Al-Qur'an dan As-Sunnah/ Hadits telah dianggap bukan landasan Islam, dan
hanya setingkat dengan adat Arab. Mau ke mana arah pemikiran duga-duga
tapi sangat merusak Islam semacam ini?
Pandangan-pandangan
berbahaya semacam itulah yang diangkat-angkat orang pluralis
(menganggap semua agama itu paralel, sama, sejalan menuju keselamatan,
dan kita tidak boleh melihat agama orang lain pakai agama yang kita
peluk) yang belakangan menamakan diri sebagai Islam Liberal.
Tokoh-tokoh Islam Liberal
Siapa sajakah yang mereka daftar sebagai Islam Liberal?Dalam internet milik mereka, ada sejumlah nama. Kami kutip sebagai berikut:"Beberapa nama kontributor JIL (Jaringan Islam Liberal, pen) adalah sebagai berikut:
- Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
- Charles Kurzman, University of North Carolina.
- Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
- Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
- Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta.
- Goenawan Mohammad, Majalah Tempo, Jakarta.
- Edward SaidDjohan Effendi, Deakin University, Australia.
- Abdullah Ahmad an-Naim, University of Khartoum, Sudan.
- Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.Asghar Ali Engineer.
- Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
- Mohammed Arkoun, University of Sorbone, Prancis.
- Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
- Sadeq Jalal Azam, Damascus University, Suriah.
- Said Agil Siraj, PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Jakarta.
- Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
- Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
- Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
- Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
- Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
- Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
- Luthfi Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
- Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
- Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok-Jakarta.
- Syamsurizal Panggabean, Universitas Gajahmada, Yogyakarta.
Mereka itu diperlukan untuk mengkampanyekan program penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif. Program itu mereka sebut "Jaringan Islam Liberal" (JIL). Penyebaran gagasan keagamaan yang pluralis dan inklusif itu di antaranya disiarkan oleh Kantor Berita Radio 68H yang diikuti 10 Radio; 4 di Jabotabek (Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi) dan 6 di daerah. Di antaranya Radio At-Tahiriyah di Jakarta yang menyebut dirinya FM Muslim dan berada di sarang NU tradisionalis pimpinan Suryani Taher, dan juga Radio Unisi di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Dua
Radio Islam itu ternyata sebagai alat penyebaran Islam Liberal, yang
fahamnya adalah pluralis, semua agama itu sama/ paralel, dan kita tak
boleh memandang agama lain dengan pakai agama kita. Sedang faham
inklusif adalah sama dengan pluralis, hanya saja memandang agama lain
dengan agama yang kita peluk. Dan itu masih dikritik oleh orang
pluralis.
Itulah pemurtadan lewat jalur yang menggunakan nama Islam dan orang-orang yang mengaku dirinya Muslim.
Menghadapi Islam Liberal
Untuk menghadapi pemurtadan yang diusung Islam Liberal itu sudah ada tuntunan dari Allah SWT dan Rasul-Nya.
Di antaranya ayat:
"Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku."
(QS Al-Kaafiruun/ 109: 6).
Ibrahim Al-Khalil dan para pengikutnya berkata kepada kaumnya, orang-orang musyrikin:
"Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain
Allah, kami ingkari (kekafran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu
permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada
Allah saja."
(Al-Mumtahanah/ 60: 4)
(Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, Darul Fikr, Beirut, hal 509).
Dalam hadits ditegaskan:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda:
"Demi
Dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari Ummat
ini yang mendengar (agama)ku, baik dia itu seorang Yahudi maupun
Nasrani, kemudian dia mati dan belum beriman dengan apa yang aku diutus
dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka."
(Hadits
Riwayat Muslim bab Wujubul Iimaan birisaalati nabiyyinaa saw ilaa
jamii'in naasi wa naskhul milal bimillatihi, wajibnya beriman kepada
risalah nabi kita saw bagi seluruh manusia dan penghapusan agama-agama
dengan agama beliau).
Faham inklusifisme dan
pluralisme agama yang diusung oleh JIL jelas bertentangan dengan firman
Allah SWT dan sabda Nabi saw. Berarti faham JIL itu adalah untuk merobohkan ayat dan hadits, maka wajib diperangi secara ramai-ramai. Kalau tidak maka akan memurtadkan kita, anak-anak kita, dan bahkan cucu-cicit kita.
Dari Aldakwah.com
Oleh: Drs. Hartono Ahmad Jaiz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar