28.3.12

Doktrin Pluralisme Agama JIL dan Theosofi


Doktrin pluralisme agama yang diasong oleh kelompok liberal di Indonesia sejatinya adalah dagangan usang yang sudah sejak lama dipasarkan kelompok kebatinan Yahudi: Theosofi!

Sebelum menjelaskan mengenai maksud tulisan ini, ada baiknya dijelaskan sedikit tentang apa itu Theosofi. Pendiri Theosofi, Helena Petrovna Blavatsky dalam buku the Key to Theosophy menyatakan, “Theosofi adalah the wisdom religion (Agama Kearifan) yang berusaha mempersatukan agama-agama yang ada dalam sebuah “kesatuan hidup” yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.” Agama menurut Blavatsky, adalah tunas-tunas dari batang pohon yang sama, yaitu the wisdom religion.

Dalam buku “Gerakan Theosofi di Indonesia” penulis secara ringkas menjelaskan Theosofi sebagai aliran kebatinan Yahudi yang bertujuan merusak semua agama-agama dengan doktrin-doktrin halus tentang persaudaraan universal dan persamaan semua agama-agama. Theosofi mempunyai mantra halus, menyatukan semua agama-agama dalam suatu “kesatuan hidup” yang ujungnya adalah menciptakan agama baru: Agama kemanusiaan! Inilah sesembahan utama organisasi-organisasi bentukan Yahudi yang menginduk pada ajaran kuno  Kabbalah.

Dr Annie Besant, salah seorang tokoh Theosofi mengatakan, “Kami berseru kepada kamu semua: ‘Marilah kita bekerja secara bersama-sama untuk agama ketentraman, agama kenyataan, agama kemerdekaan di dunia dari kerajaan surga yang sejati. Inilah kita punya haluan.” Sedangkan Presiden Masyarakat Theosofi Internasional N. Sri Ram dalam pidato di Bandung pada tahun 1953 mengatakan, “Semua agama baik dan berguna, dan tujuannya adalah sama, yaitu kesempurnaan.”

Karena itulah, sebagai organisasi yang mengabdi kepada kemanusiaan dan bertujuan merusak keyakinan semua agama-agama dengan doktrin pluralisme, Theosofi mempunyai motto: “Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran.”  Artinya, agama apapun, selama menjalankan kebenaran, menyampaikan kebaikan, menebar kasih sayang, maka pada hakekatnya adalah sama. Bagi JIL, mereka semua juga akan mendapat balasan surga.

Inilah yang  juga menjadi keyakinan kelompok liberal di Indonesia. Dalam buku “Lubang Hitam Agama”, Sumanto Al-Qurtubi, aktivis liberal yang saat ini bermukim di Amerika dengan sinis mengatakan, bahwa suatu saat kita jangan terkaget-kaget jika di surga nanti kita juga akan menjumpai, Bunda Theresa, Mahatma Ghandi, Martin Luther King, dan lain-lain. Karena bagi Sumanto dan aktivis liberal lainnya, Bunda Theresa, Ghandi, dan tokoh-tokoh kafir lainnya, juga akan mendapatkan balasan yang sama sebagaimana umat Islam yang menebarkan kebaikan dan kasih sayang.

Keyakinan tersebut juga dipertegas oleh Ulil Abshar Abdalla, pentolan kelompok liberal yang saat ini aktif sebagai fungsionaris Partai Demokrat. Dalam buku “Bunga Rampai Surat-Surat Tersiar” Ulil menyatakan, “Saya sangat mencintai Islam karena itulah agama yang “membuka” mata saya pada dunia. Itulah agama yang mengajarkan tentang baik dan buruk, tentang keadilan, tentang cinta, tentang hormat, tentang do unto others what you wish others do  unto you, ajaran yang baru saya  ketahui ternyata ada dalam semua agama, dan  karena itu Bung, kemudian saya berpandangan, bahwa pada intinya semua agama sama (sekali lagi pada intinya, bukan pernak-perniknya)”—kalimat dalam kurung asli dari tulisan Ulil.

Ulil kemudian menambahkan, “Islam tidak pernah membatalkan kebenaran agama lain, entah agama yang berada di lingkungan agama semitik, atau di luarnya. Islam memandang dirinya sebagai bagian dari keluarga besar “wahyu ketuhanan” yang turun kepada semua agama di muka bumi. Dalam wawasan semacam ini, saya hendak menempatkan Islam sebagai agama yang benar, diantara agama-agama lain yang juga benar…”

Tokoh liberal lainnya, Budhy Munawar Rahman, dosen Universitas Paramadina,  dalam sebuah tulisan berjudul, “Basis Theologi Persaudaraan Antar Agama” menyatakan, “Pemeluk agama apapun layak disebut sebagai “orang beriman”, dengan makna “orang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan”. Karena itu sesuai dengan QS.49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman. Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman—tanpa harus melihat agamanya apa—adalah sama di hadapan Allah. Karena Tuhan kita semua, adalah Tuhan Yang Satu.”

Budhy Munawar Rahman menambahkan, agama yang benar adalah agama yang membawa sikap pasrah kepada Tuhan, apapun namanya. Inilah yang disebut sebagai inklusifisme dalam beragama. Jadi Islam yang pasrah kepada Tuhan sama dengan Kristen yang pasrah kepada Tuhan. Budha yang pasrah pada Tuhan, sama dengan Katolik yang pasrah pada Tuhan.

Keyakinan serupa juga ditulis oleh Sukidi, aktivis liberal yang berasal dari lingkungan Muhammadiyah, “Sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan dari theology inklusif Cak Nur (Nurcholis Madjid, red). Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi ‘muslim’ itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi penganut agama lain, khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun diantara kita—baik sebagai seorang Islam, Yahudi, Kristen maupun shabi’in—yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan…”

Inilah keyakinan soal pluarlisme agama para aktivis liberal, yang sejalan sebangun dengan kelompok Theosofi. Agama bagi mereka semua sama, selama menyerahkan kepasarahannya kepada Tuhan. Anehnya, Budhy Munawar Rahman, Ulil Abshar Abdalla, Sukidi, dan aktivis liberal lainnya, tidak pernah menjalankan kepasrahannya kepada Tuhan dengan beribadah di klenteng, gereja, ataupun pura. Toh, semua agama bagi meraka sama, yang penting bersikap pasrah sama Tuhan!


 Bagi JIL dan Theosofi, perbedaan antara Islam dan agama-agama lainnya hanya pada aspek lahiriah saja (eksoteris), namun sama dalam aspek batiniah (esoteris). Jika Islam beribadah dengan shalat ke masjid setiap hari, maka Kristen beribadah ke gereja seminggu sekali.Perbedaannya hanya pada aspek itu saja. Mereka mengatakan, “banyak jalan” menuju Tuhan.

Pada tulisan sebelumnya dijelaskan bahwa Theosofi adalah organisasi kebatinan yang didirikan oleh para Yahudi dan aktivis Freemasonry, yaitu: Helena Petrovna Blvatsky, Henry Steel Olcott, William Quan Judge, Dr Annie Besant, dan Charles Webster Leadbeater. Mereka adalah orang-orang yang bergiat dalam diskusi-diskusi mengenai okultisme, ancient wisdom (kearifan kuno), dan doktin-doktrin kabbalah. Mereka kemudian mendirikan the Theosophical Society (Masyarakat Theosofi) pada tahun 1875 di New York, Amerika Serikat.

Apa itu organisasi Theosofi? Dalam situs www.theosofi-indonesia.com, dijelaskan, “Theosofi adalah sebuah badan kebenaran yang merupakan dasar dari semua agama, yang tidak dapat dimiliki dan dimonopoli oleh agama atau kepercayaan manapun. Theosofi menawarkan sebuah filsafat yang membuat kehidupan menjadi dapat dimengerti, dan Theosofi menunjukkan bahwa keadilan dan cinta-kasihlah yang membimbing evolusi kehidupan.”

Dari penjelasan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa, Theosofi menganggap bahwa kebenaran adalah dasar semua agama yang tidak bisa dimonopoli oleh agama atau kepercayaan apapun. Dengan kata lain, tidak boleh ada satu agama manapun yang merasa keyakinannya paling benar. Semua agama, selama membawa kebenaran dan kebaikan, menurut Theosofi pada hakikatnya sama. Kebenaran yang dimaksud oleh Theosofi adalah kesatuan hidup menuju pada Yang Satu, sedangkan kebaikan adalah wujud dari pengabdian kepada kemanusiaan. Theosofi berkeyakinan, “There is no religion higher than truth” (Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran).

Pada Midden Java Congress, 26 Desember 1929, tokoh Theosofi Go Yau Tjioe berpidato menjelaskan tentang kewajiban dan pokok-pokok ajaran Theosofi. Ada tiga pokok ajaran Theosofi yang disampaikan dalam kongres tersebut, yaitu:Pertama, Theosofi meneguhkan persaudaraan umat manusia, zonder (tanpa) membandingkan agama-agama, bangsa, warna kulit, dan jenis laki-laki atau perempuann. Kedua, Theosofi membandingkan agama-agama dan menjaring segala agama-agama. Ketiga, Theosofi mencari gaibnya Tuhan di dalam manusia. Majalah PTTI (Pengurus Theosofi Tjabang Indonesia) yang terbit di Blavatsky Park, Batavia, No.26, Desember-Januari 1954 menegaskan, “Theosofi berusaha memajukan persaudaraan dan mengabdi kepada kemanusiaan.”


Sebelumnya, Majalah Theosofi Boeat Indonesia, No.2 Februari 1930, propaganda doktrin Theosofi mengenai pluralisme juga sangat jelas diungkapkan. Majalah itu menulis, “Semua (umat beragama) itu “ingsun kita”, semua perbuatan baik datangnya ke SATU TEMPAT…yang menciptakan barang yang ada itu dinamakan Allah, Tuhan, dan ada lagi nama-nama apa saja yang orang mau sebutkan.” (hal.22 dan 34). Dr Annie Besant, tokoh Theosofi dan anggota Order the East Star (Ordo Bintang Timur) menyatakan,”Dasar persaudaraan yang universal adalah kasih sayang. Kita adalah “sedulur tunggal Bapa” Bapa kita adalah Tuhan yang Satu, dan Tuhan adalah kasih. Tuhan tidak berhingga.”

Bagaimana dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), lembaga yang sering disebut sebagai “peneror” akidah umat Islam? Dalam sebuah wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla, yang kemudian dimuat di  Harian Jawa Pos, 11 Mei 2003, Budhy Munawar Rahman, tokoh JIL yang juga dosen Universitas Paramadina mengatakan,”…inti keberagamaan itu kan kesadaran Tuhan. Kosa kata “din” dalam bahasa Arab itu sendiri berarti ketundukan dan keterikatan kepada Tuhan. Kata Islam juga bisa dikembalikan kepada maknanya yang generik, yang asal, artinya, kepasrahan dan ketundukan…” demikian papar Budhy, menjelaskan makna ayat “Inna ad-diina indallahi al-Islam”. Jadi, ayat tersebut menurut kelompok liberal, tidak bisa diartikan sebagai “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam.” Melainkan mereka mengartikan sendiri dengan, “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah kepasrahan, ketundukan.”

Sukidi, aktivis liberal lainnya yang mendapat beasiswa di Harvard University, Amerika Serikat, dalam wawancara dengan Ulil Abshar Abdalla, sebagaimana dimuat pada situs www.islamlib.com, 10 Juni 2005, mengatakan,”Terus terang, saya memeluk Islam bukan didasari doktrin bahwa Islam pasti yang paling benar, tapi karena argumen bahwa Islam juga menyediakan sumber jalan yang sama untuk menuju Tuhan. Jadi, Islam menjadi sumber yang equal dengan agama-agama lain dalam menunjukkan jalan kepada Tuhan. Dengan premis itu, kita bisa respek pada proses pencarian kebenaran dari berbagai tradisi agama lain,” ujarnya. Sukidi menegaskan, “Karena itu, jangan sekali-kali mengklaim bahwa Islam adalah satu-satunya jalan menuju Tuhan. Islam hanyalah satu di antara sekian banyak jalan menuju Tuhan. Jangan pula kita tertipu oleh nama Tuhan itu sendiri, karena nama adalah simbol, sekadar alat bantu untuk menuju Yang Esensial itu sendiri, “tegasnya.

Sukidi, Ulil Abshar Abdalla, dan para aktivis liberal lainnya sejatinya adalah corong penyambung lidah dan pemikiran para penganut pluralisme agama pada masa lalu, yang mempunyai gagasan tentang transcendent unity of religion (Kesatuan Transenden Agama-agama). Jika para aktivis JIL berkeyakinan semua agama sama, menuju pada Tuhan yang sama, beranikah mereka, jika meninggal kelak, jasad mereka disemayamkan di gereja, dikremasi cara Hindu, dan ditanam di pekuburan Cina? Jika berani, dari sekarang mereka harus sudah menulis surat wasiat buat keluarga dan anak cucunya, agar kelak, keberaniannya itu bisa terwujud.

 
Awalnya, baik JIL ataupun Theosofi menganggap semua agama sama. Ujungnya, tak beragama pun tak mengapa, asalkan berbuat kebaikan, menebar kasih sayang,menolong sesama, dan mengabdi pada kemanusiaan. Paham pluralisme agama berujung pada sikap netral agama, laa diniyah!

Ulil Abshar Abdalla berkirim surat elektronik kepada koleganya sesama pengusung paham sepilis, Hamid Basyaib. Dalam surat  Ulil mengajukan rentetan pertanyaan, apakah hanya dengan agama seseorang bisa hidup teratur? Ulil menulis:

“Betulkah kehidupan manusia bisa teratur hanya dengan agama? Apakah kehidupan manusia tidak mungkin dibuat begitu rupa menjadi tertib dengan hukum-hukum dan peraturan yang mereka buat sendiri berdasarkan akal, pengalaman, dan tahap kematangan mental-intelektual mereka sendiri? Apakah jalan satu-satunya menjadi manusia bermoral dan etis hanya melalui agama? Apakah moralitas yang berasal dari sumber di luar agama sama sekali tak bisa menjadi landasan untuk mengatur kehidupan manusia?

Ulil yang kini aktif sebagai fungsionaris Partai Demokrat, lantas membuat jawaban atas pertanyaannya sendiri:

“Pertama-tama, perkenankan saya mengatakan: sama sekali tidak benar bahwa jalan satu-satunya menjadi manusia bermoral dan hidup secara etis hanya melalui agama. Seseorang yang tak memeluk agama apapun di dunia ini bisa menjadi manusia yang baik dan hidup secara bermoral…

Dengan menulis ini semua bukan berarti saya anti-agama. Saya tetap seorang Muslim. Tetapi saya mencoba menjadi seorang beragama yang rendah hati. Saya beragama, tetapi tak menganggap bahwa agama adalah satu-satunya jalan menuju kehidupan yang tertib. Oleh karena itu, saya menghormati orang-orang yang agnostik dan ateis, dan tak beranggapan bahwa manusia yang agnostik akan dengan sendirinya menjadi manusia bejat.

Saya berteman dengan banyak orang-orang yang agnostik: mereka tak kalah humanisnya dengan manusia beragama. Mereka manusia yang bermartabat dan menghormati manusia lain. Bahkan dalam banyak hal, mereka jauh lebih humanis ketimbang manusia beragama.”

Ulil menutup suratnya dengan mengatakan, “Saya harus menambahkan catatan sebagai “caveat” untuk surat saya ini. Istilah “agama” di sini saya pakai dalam konteks yang terbatas, yaitu agama sebagaimana ditafsirkan oleh orang-orang bigot, fanatik, dan totaliter.”  Dengan kata lain, Ulil ingin mengatakan, pengertian agama yang ditafsirkan oleh JIL seperti tercermin dalam pluralisme, adalah pengecualian dalam hal ini.

Jika Ulil mengatakan bahwa dirinya tidak anti agama, mengapa ia menolak syariat yang ada dalam agama seperti tercermin dalam tulisan-tulisannya? Bukankah syariat itu bagian terpenting dari agama? Mengapa pula dalam penggalan surat itu ia mengatakan, “Hukum syariat rentan menjadi lahan subur untuk tumbuhnya otoritarianisme politik (meskipun tidak selalu demikian), persis karena kleimnya sebagai “hukum suci” yang secara umum tak boleh diperdebatkan, terutama aspek-aspek di sana yang dianggap “qath’i” atau pasti.”

Jika ia tidak anti agama, mengapa ia menolak syariat agama? Mengapa pula ia membangga-banggakan bahwa tanpa agama, seseorang juga bisa hidup teratur dan lebih humanis? Mengapa pula ia menyatakan bahwa agama bukan satu-satunya jalan yang bisa membuat keteraturan? Inilah gambaran dari pemahaman humanisme yang mengedepankan “supremasi kemanusiaan” dan mengganggap bahwa manusia bisa dan berhak menentukan hukumnya sendiri. Setelah merasa berhak membuat hukum sendiri, yakni hukum yang berlandaskan pada aspek kemanusiaan (humanisme), pada akhirnya mereka tak lagi merasa membutuhkan agama, bahkan tak perlu lagi bertuhan. Cukup dengan menebar kebaikan, kasih sayang, persaudaraan, dan lain sebagainya, yang mereka anggap sebagai “kodrat alam”, bukan ajaran agama atau ajaran dari Tuhan.

Keyakinan ini persis seperti ditegaskan dalam motto organisasi Theosofi, “There is no religion higher than truth” (Tidak Ada Agama yang Lebih Tinggi daripada Kebenaran). Siapapun, baik Yahudi atau Islam, Kristen atau Hindu, Budha atau Konghucu, bahkan seorang ateis sekalipun, jika mengabdi kepada kemanusiaan, menebar kebaikan, toleransi, kasih sayang, dan lain-lain pada hakikatnya menurut JIL dan Theosofi adalah sama. Ketua Theosofi Cabang Hindia Belanda, Dirk van Hinloopen Labberton, dalam sebuah tulisannya menyatakan, Dirk van Hinloopen Labberton, Ketua Theosofi Hindia Belanda, pernah mengatakan, “"Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli dengan agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu, sifatnya cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara batin…”

Dalam Majalah Pewarta Theosofi Boewat Indonesia, No. 2, Februari Tahun 1930, tokoh Theosofi yang disebut sebagai Sang Jagad Guru, Krisnaji mengatakan, “Buang semua agama-agama, buang segala keyakinan dan lain-lain kepercayaan itu.”  Inilah misi besar sesungguhnya dari Theosofi, yakni merusak semua agama-agama. Awalnya, mereka mempropagandakan semua agama sama. Ujungnya, mereka menyatakan tak perlu beragama, cukup melakukan lelaku batin dan mengabdi kepada kemanusiaan. Misi itu kini dijalankan oleh kelompok JIL, yang mengaku beragama, tetapi merusak dan mengubah nilai-nilai agama dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Apa yang dilakukan oleh JIL dan Theosofi sudah jauh-jauh hari dicanangkan dalam protokolat Zionisme XVII, “Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana.Tinggal masalah waktu agama-agama itu akan bertumbangan.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar