5.3.12

Konspirasi Berbaju Toleransi

Oleh: Muhammad Rais
ISU dialog antar agama akhir-akhir ini semakin berkembang seiring dengan semakin kompleksnya kehidupan antar umat beragama. Dialog antar agama dipercayai sebagai solusi untuk menumbuhkan sikap toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Adanya perbedaan prinsipil dalam setiap agama memberikan peluang terjadinya konflik. Konflik antar umat beragama khususnya di Indonesia sudah sering terjadi. Konflik di berbagai daerah seperti Ambon, Poso, dan Sampit diyakini sebagai konflik yang timbul akibat  paham agama.
Tentu kita masih ingat insiden di Ciketing Asem kota Bekasi. Insiden yang melibatkan umat Islam dan Jemaat Huria Kristen Batak Protestan Pondok Timur indah. Lalu benarkah dialog antar agama bertujuan untuk mengatasi konflik? Apa sebenarnya motif dan target di balik isu ini?
Motif di Balik isu Dialog Antar Agama
Ide untuk mengadakan dialog antar agama secara internasional, muncul pertama kali tahun 1932 saat Perancis mengutus delegasinya untuk berunding dengan para tokoh ulama Al-Azhar di Kairo. Pertemuan itu sengaja dirancang untuk membincangkan mengenai ide penyatuan tiga agama yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Pertemuan itu kemudian ditindaklanjuti dengan mengadakan Konferensi Internasional yang menghadirkan para orientalis dan misionaris dari berbagai universitas terkemuka di dunia. Konferensi itu diselenggarakan di Paris pada tahun 1933. Tidak lama kemudian, diadakan lagi Konferensi Agama-Agama sedunia tahun 1936.
Pertemuan tokoh-tokoh lintas agama sempat terhenti dikarenakan terjadinya perang dunia II. Masing-masing negara yang terlibat perang, mempersiakan diri dan berkonsentrasi untuk merebut kemenangan. Kondisi ini menyebabkan tokoh-tokoh lintas agama terhalangi untuk mengadakan pertemuan secara internasional. Namun, sekitar tahun 1964 Paus Paulus VI menulis risalah untuk mengaktifkan kembali dialog antar agama. Sejumlah
konferensi dan dialog lintas agama kembali diselenggarakan di berbagai negara. Konferensi di Spanyol tahun 1974 dihadiri delegasi Muslim dan Kristen dari 23 negara. Begitu pula, pertemuan Islam-Kristen di Tunisia dan Yordania.
Pada dasarnya, motif yang melatarbelakangi diadakannya dialog antar agama tersebut tidak lain adalah untuk meredam perbedaan prinsipil yang terkandung dalam masing-masing agama. Dialog dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang sifatnya relative, sehingga setiap agama tidak boleh mengklaim bahwa ajaran merekalah yang paling benar. Dialog diadakan agar tidak ada lagi satu agama yang memonopoli kebenaran.
Kebenaran tunggal harus dihapuskan dan yang ada hanyalah kebenaran relative. Kebenaran juga harus mengikut pada prinsip demokrasi, yakni kebenaran ditentukan oleh suara mayoritas karena suara terbanyak lebih mendekati pada kebenaran.
Gagasan tentang kebenaran itu adalah relative dan tidak ada tafsir tunggal tentang kebenaran, tentu di satu sisi melemahkan posisi Islam. Hal itu semakin terasa dari beberapa rekomendasi yang ditawarkan dan disepakati dalam dialog antar agama. Di antara rekomendasi itu yakni keharusan untuk mencari dan memaknai ulang akan arti iman, Islam, aqidah, akhlak, murtad, dan kafir. Kata-kata ini harus dimaknai secara luas agar tidak menimbulkan pertentangan di kalangan umat beragama.
Target Dialog Antar Agama
Mencari titik temu antara agama yang satu dengan lainnya adalah hal yang mustahil. Setiap agama memiliki tafsiran tersendiri. Misalnya, kata Allah dalam agama Islam adalah  Allah SWT yang sifatnya tunggal. Sementara dalam agama Kristen, konsep ketuhanan itu adalah trinitas dan bukan tunggal.  Dalam hal konsep ketuhanan saja telah berbeda, maka dapat dipastikan bahwa konsep seperti keimanan, akhlak, dan ibadah pun akan berbeda.
Sehingga motif agar terjadi keseragaman dan titik temu antar agama-agama adalah hal yang tidak mungkin. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Samuel P. Huntington bahwa agama telah membedakan manusia dengan sangat jelas. Seseorang bisa saja setengah Perancis atau setengah arab, tetapi tidak mungkin menjadi setengah Katholik atau setengah Islam. Olehnya itu,  mencari titik temu di antara setiap agama, sama halnya membunuh semua agama yang ada lalu menghidupkan agama baru.
Dialog antar agama  hanyalah manuver politik Barat untuk menghancurkan Islam. Pihak Barat yang menyerukan dialog antar agama dengan umat Islam, pada hakikatnya memandang umat Islam dengan pandangan permusuhan. Simak saja pernyataan Paus Benedictus XVI saat berpidato di Universitas Regensburg yang mengatakan bahwa tidak ada yang baru dari ajaran Nabi  Muhammad selain hanya ajaran yang berbau iblis dan tidak manusiawi. Dia juga menyebutkan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan umat Islam untuk menyebarkan agama dengan pedang dan kekerasan. Keyakinan serupa yang mengilhami Geert Wilders untuk membuat film fitnah dan Terry Jones yang ingin membakar Al-Quran.
Sesungguhnya target mendasar yang hendak diwujudkan oleh kaum kapitalis Barat dari dialog antar agama adalah untuk menghalang-halangi terwujudnya kembali Islam sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh. Kaum kapitalis Barat menyadari bahwa bangkitnya sistem Islam akan mengancam eksistensi ideologi dan peradaban mereka sekaligus akan menggeser kepemimpinan dan pengaruh mereka atas negara-negara di dunia. Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk meredam kebangkitan Islam adalah dengan mengaburkan nilai-nilai Islam melalui dialog antar agama. Kekaburan nilai Islam akan berdampak pada lahirnya generasi Islam yang tidak Islami. Umat Islam diarahkan agar semakin jauh dari kemurnian Islam.
Dialog antar agama yang diprakarsai oleh Barat untuk mencari titik temu di antara agama dan peradaban hanyalah sebuah ilusi dan konspirasi. Dialog yang sifatnya sepihak dalam rangka mengaburkan nilai Islam. Sebaliknya umat Islam justru diarahkan untuk memperjuangkan nilai-nilai humanisme, rasionalisme, relativisme, liberalisme, dan sekularisme. Wallahu a’lam bishawab.*
Penulis adalah Ketua Persatuan Pelajar Sul-Sel seMalaysia & Mahasiswa Program Master Ilmu Politik di IIUM Malaysia