19.3.12

UMAT ISLAM INDONESIA TELAH DI PERDAYA

 Sejarah Proklamasi Republik Indonesia
(diambil dari tulisan sejarawan Prof.Ahmad Mansyur Suryanegara )

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Qs.Yusuf : 111)
Berawal dari janji pemerintah Jepang yang disampaikan Perdana Mentri Kuniaki Koiso tanggal 7 September 1944, bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia[1]. Maka para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, melalui Deklarasi 1 Maret 1945 membentuk suatu panitia untuk menyelidiki apa yang harus dikerjakan untuk persiapan kemerdekaan. Panitia tersebut akhirnya terbentuk dengan nama “Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai” atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPK (I)[2] beranggotakan 62 orang dengan ketua DR Radjiman Wediodiningrat., wakil ketua R.P Soeroso dan Ichibangase Yoshio[3].
Pada sidang BPUPKI yang pertama[4], menurut MR. Soepomo salah seorang pembicara utama dalam sidang itu, menyatakan bahwa ada 3 hal besar yang diperdebatkan yaitu
1. Persoalan Struktur Negara apakah berbentuk Negara Kesatuan atau Negara federal.
2. Persoalan hubungan antara Agama dengan Negara, apakah negara yang akan diberdirikan ini berkait erat dengan agama, atau netral dari pengaruh agama. Apakah negara itu akan didirikan di atas dasar dan hukum Islam (Negara Islam), dalam hal ini negara menghubungkan dirinya dengan golongan terbesar, golongan Islam. Atau masalah keagamaan ini dipisahkan dari masalah masalah negara dalam negara kesatuan nasional, dimana masalah agama diserahkan pada golongan agama yang bersangkutan.
3. Apakah Indonesia ini akan menjadi Republik atau Kerajaan.
Persoalan apakah negara akan menjadi republik atau kerajaan dengan mudah selesai, bahwa Indonesia tidak akan menjadi kerajaan dengan pemerintahan yang dipimpin oleh satu orang dan terus menerus diwariskan menurut layaknya tradisi sebuah kerajaan[5]. Demikian juga masalah bentuk kesatuan atau Federal, tanpa perbincangan panjang, negara kesatuan dipilih sebagai bentuk negara Indonesia merdeka. Persoalan menjadi meruncing ketika membicarakan hubungan antara Agama dengan Negara.
Dalam Voting yang sama 15 suara memilih dasar Islam dan 45 memilih dasar kebangsaan dalam arti netral agama. Namun sekalipun hanya 25 % suara memilih dasar negara Islam, tetapi justru itu merupakan suara tokoh tokoh besar yang saat itu sangat piawai mengemukakan dasar dasar pernyataannya, juga memiliki karisma pribadi yang kukuh. Seperti The grand old man Haji Agus Salim, DR Sukiman, KH. Abdul Kahar Muzakir, KH. Mas Mansjur, KH.A. Wahid Hasjim, AR. Bawesdan. Ki Bagus Hadikusumo, KH.A. Sanoesi, K.H. Abdul Halim, Abikusno Tjokrosoejoso dan K.H. Masjkur. Ditambah lagi bahwa apa yang mereka suarakan adalah aspirasi dari 52.000 surat yang datang dari berbagai pelosok di Nusantara dari pem,impin Islam dan para ulama yang menghendaki Islam terlaksana di alam merdeka nanti[6].
Persoalan ini tidak tuntas dalam sidang pertama BPUPKI 29 Mei – 1 Juni 1945. Setelah Ir. Soekarno berbicara hampir satu jam akhirnya DR Radjiman Wediodiningrat sebagai ketua BPUPKI membentuk panitia kecil yang bertugas untuk merumuskan Dasar Negara yang belum final, serta menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan Indonesia merdeka[7].
Dibentuklah satu panitia kecil diketuai Ir. Soekarno yang beranggotakan DR Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, MR. Ahmad Soebardjo, Abdul Wahid Hasjim, MR. Muhammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, Abikusno Tjokrosoejosop dan A.A. Maramis yang dikenal dengan “Panitia Sembilan”. Dalam pembicaraan ini meskipun alot, akhirnya tercapai kesepakatan, bahwa akhirnya Dasar Negara memang bukan Islam, tetapi tidak juga Netral Agama, tetapi jalan tengah yakni apa yang disepakati dalam Piagam Jakarta, dimana Pancasila yang dirumuskan I.r Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, dirumuskan kembali, yang pada sila pertamanya menjadi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk pemeluknya.”.
Rumusan dasar negara ini beserta keseluruhan teks Piagam Jakarta disyahkan sebagai Teks Proklamasi dan diabadikan sebagai Preambule pembukaan Undang Undang dasar 45. Dalam Hal ini MR. Ahmad Soebardjo, anggota Panitia Sembilan tersebut memberikan kesaksian :
“Suatu kenyataan ialah bahwa teks dari proklamasi telah dirumuskan dalam apa yang dinamakan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Rumusan ini hasil dari pertimbangan pertimbangan mengenai Kata Pembukaan atau Bab Pengantar Dari Undang Undang Dasar kita oleh sembilan anggota Komite dimana Soekarno sendiri adalah ketuanya[8].”
BJ. Boland menyatakan bahwa setelah Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, lalu disusun pernyataan kemerdekaan, dengan kalimat yang sama dengan apa yang tertuang dalam Piagam Jakarta[9].
MR. A.A Maramis seorang Nashrani dalam keterangan lisan, mengakui sebagai seorang bukan muslim ia juga (sebenarnya) keberatan dengan jalan tengah ini, tetapi ia tidak ingin membahayakan Proklamasi kemerdekaan[10].
Ini menunjukkan bahwa apa yang diamanatkan sidang pertama BPUPKI, yakni memfinalkan dasar negara dan menyusun teks proklamasi telah sempurna dibuat Panitia Sembilan. Sebagai jalan tengah bahwa Indonesia mendatang adalah Republik Indonesia yang dproklamasikan di atas dasar ketuhanan dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya. Memang bukan Negara Islam, tetapi juga Bukan Negara netral Agama, tetapi jalan tengah maksimal yang bisa diusahakan, yang berhasil dicapai para elit pejuang kemerdekaan.
Ir Soekarno, sendiri dalam pidatonya tanggal 10 Juli 1945 pada Sidang Paripurna BPUPKI[11] menyatakan kesepakatan yang telah dicapai oleh panitia sembilan itu dengan kata katanya yang bersejarah[12] :
Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita.
Sebenarnya ada kesukaran mula mula antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula mula ada kesukaran mencari kecocokan paham antara kedua golongan ini, terutama mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagai tadi saya katakan, Allah subhana wa ta’ala memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan.
…Panitia kecil menyetujui sebulat bulatnya rancangan preambule yang disusun oleh anggota-anggota yang terhormat: Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Subarjo, Maramis, Muzakir, wahid Hasyim, Sukarno, Abikusno Cokrosuyoso dan Haji Agus Salim itu adanya. Marilah saya bacakan usul rancangan pembukaan itu kepada tuan tuan……..(lihat lampiran Piagam Jakarta)
Memang ada perdebatan perdebatan pada Sidang Paripurna, mengenai Piagam Jakarta ini, namun pada akhirnya kembali kepada kesepakatan semula. Pada tanggal 14 Juli 1945 sebagai ketua DR Radjiman bertanya ;
“Jadi apakah saya bisa menentukan, bahwa usul Panitia (Sembilan) tentang Pernyataan (kemerdekaan/proklamasi) dan Pembukaan (Undang Undang Dasar) ini …. Diterima bulat?” dijawab serentak oleh sidang : “Bulat!”[13] .
Namun kemudian perdebatan kembali menghangat pada hari berikutnya, namun tidak ada perubahan dari kebulatan tadi[14]. Bahkan di akhir sidang, Ir Soekarno mengatakan “
“Kita kemarin menghadapi suatu kesukaran yang amat sulit, Tetapi Allah swt, selalu memberi petunjuk kepada kita..Maka petunjuk bagi kita anggota anngota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tadi malam telah datang. Sesudah ditutup rapat tadi malam itu, maka dengan segera kami , yaitu beberapa pemuka yang dinamakan pemuka kebangsaan dan pemuka yang dinamakan pihak Islam, mengadakan perundingan dan sekarang sampailah saatnya saya, sebagai Ketua Panitia, mengemukakan pendapat saya tentang masalah itu[15]
Kemudian Ir. Soekarno menghimbau segenap anggota, terutama hal ini pihak kebangsaan, untuk berkorban :
Saya berkata, adalah sifat kebesaran di dalam pengorbanan, :er is grootheid in offer”..yang saya usulkan ialah: baiklah kita terima, bahwa di dalam Undang Undang Dasar dituliskan, bahwa : “Presiden republik Indonesia haruslah orang Indonesia Asli yang beragama Islam.” Saya mengetahui bahwa buat sebagian pihak kebangsaan ini berarti suatu …pengorbanan mengenai keyakinan. Tetapi apaboleh buat ! Karena bagaimanapun kita yang hadir di sini, dikatakan 100 % telah yakin, bahwa justru karena penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdiri daripada 90 % atau 95 % orang orang yang beragama Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi presiden tentulah yang beragama Islam[16].
Ir. Soekarno menyambung bahwa dia menyadari bahwa hal ini merupakan pengorbanan besar terutama bagi patriot seperti Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam:
Saya meminta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita.
… Saya harap, Paduka tuan yang Mulia suka mengusahakan supaya sedapat mungkin dengan lekas, mendapat kebulatan dan persetujuan yang sebulat bulatnya dari segenap sidang untuk apa yang saya usulkan tadi itu.[17]
Setelah jelas bahwa sudah tidak ada lagi keberatan di dalam sidang. Ketua DR Radjiman Wediodiningrat menutup sidang dan mempersilahkan para anggota berdiri. Kemudian Ketua Sidang mengumumkan secara resmi : “Jadi rancangan ini sudah diterima semuanya. Jadi saya ulangi. Undang Undang Dasar ini kita terima dengan sebulat bulatnya”. Kata akta terakhir DR radjiman tersebut diterima dengan suara bulat dan tepuk tangan[18]
Perhatikan BPUPKI dengan seluruh anggotanya telah sepakat untuk memproklamasikan sebuah Negara Republik yang berdasar Pancasila dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, ditambah lagi dengan persyaratan Presiden harus seorang yang beragama Islam[19]. Inilah Pancasila versi pertama, Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Dan ini pula maksimal usaha yang bisa dilakukan para elit muslim di BPUPKI dalam merealisasikan dukungan, usul dan saran dari para Ulama dan Pemimpin Islam yang menghendaki adanya Negara Islam. Jumlahnya diterima di meja Djawa Hoko-kai bukan sedikit, tetapi mencapai 52.000 surat[20] !

Ini merupakan perjanjian yang mengikat seluruh komponen bangsa yang diwakili para elitnya, sebagaimana dikatakan Mr Muhammad Yamin bahwa Piagam Jakarta adalah Gentlement agreement …..
“ …Dan tepatilah janji, sesungguhnya janji itu akan diminta pertanggung jawaban (S.17:34)
Teks Proklamasi yang Dihapus Berganti Naskah Seketika yang Mengkhianati Kesepakatan.
Jepang yang tanggal 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, ternyata setelah Bom Atom Amerika Serikat dijatuhkan di Kota Hiroshima[21] pada tanggal 6 Agustus 1945. Pemimpin pemimpin Jepang mengetahui bahwa negaranya telah berada di ambang kekalahan. Sehari setelah itu, pada tanggal 7 Agustus 1945 Jendral Terauchi, panglima Angkatan Perang Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Saigon (Vietnam Selatan) mengeluarkan pernyataan bahwa indonesia dikemudian hari akan diberi kemerdekaan sebagai anggota kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Untuk menerima petunjuk petunjuk tentang penyelengaraan kemerdekaan itu menurut Jendral Terauchi, bahwa suatu panitia harus dibentuk di Indonesia “untuk mempersiapkan penyerahan kekuasaan pemerintahan balatentara Jepang kepada panitia tersebut[22]”. Dikeluarkanlah Dekrit didirikannya segera Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang baru[23], dimana sebelumnya BPUPKI dibubarkan[24] karena sudah selesai dengan semua tugasnya telah rampung dengan sempurna. Pada tanggal 9 Agustus 1945, saat itu bertepatan dengan dijatuhkannya Bom Atom yang ke dua oleh Amerika Serikat di kota Nagasaki, Ir. Soekarno, DR. Muhammad Hatta dan DR. Radjiman Wediodiningrat diundang ke Dallat - Saigon[25] dan baru kembali tanggal 14 Agustus 1945[26]; disana disetujui bahwa suatu Majlis Pembentuk Undang Undang akan bersidang tanggal 19 Agustus 1945. Dan pada tanggal 24 Agustus 1945 Indonesia akan memperoleh kemerdekaannya dari Jepang [27].
Sjahrir sebagai pemimpin gerakan bawah tanah Anti Jepang sangat tidak menyetujui rencana tersebut. Sejak tanggal 10 Agustus 1945 ia berusaha meyakinkan Ir. Soekarno dan Dr Mohammad Hatta bahwa orang orang Jepang sudah hampir menyerah, dan bahwa Soekarno dan Hatta lah yang harus segera mengambil prakarsa untuk menyatakan kemerdekaan[28].
Baik Ir Soekarno maupun Dr Mohammad Hatta, tampak serba salah, gamang mengambil langkah, sebab walau bagaimana kesepakatan kesepakatan dengan Jendral Terauchi di Saigon bahwa Jepang akan memberikan Kemerdekaan pada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Penulis Belanda GRAA Boomsma dalam De Laatste Tyfoon[29] : Menurut Danton Singgih : Bung Karno memang berada dalam posisi pelik, karena bila ia mengikuti permintaan kaum muda, dapat saja ia (Ir Soekarno) ditangkap dan bahkan mungkin dibunuh oleh pihak Jepang , sedangkan bila ia, atas dasar pertimbangan apapun juga, tidak bersedia memenuhi permintaan kaum muda, dapat saja ia dituduh pengkhianat dan dibunuh oleh rakyat.”
Sikap gamang tersebut nampak ketika pemuda menuntut agar kemerdekaan segera diproklamasikan malam hari tanggal 15 Agustus 1945[30], tetapi Ir. Soekarno menolak karena belum yakin Jepang menyerah[31] dan dia khawatir akan bentrok senjata dengan tentara Jepang yang masih bersenjata lengkap[32]. Sebenarnya Berita itu direspon Suekarno – Hatta – Soebardjo dengan rencana PPKI untuk mengadakan rapat pada hari berikutnya (16 Agustus) jam 10 pagi di Kantor Dewan Sanyo Kaigi (bekas Gedung Raad Van Indie, Dewan Penasehat Pemerintahan Hindia Belanda) Jl Pejambon.[33]
Namun rapat itu tidak jadi dilakukan karena pada tanggal 16 Agustus dini hari jam 4.30 para pemuda yakni Sukarni, Winoto danu Asmoro, Abdurrahman dan Jusuf Kunto beserta Dan Ton Sanusi juga Dan Ton Singgih menculik Ir. Soekarno, fatmawati (isterinya) dan Guntur (anaknya, 9 bulan) ke Rengas Dengklok, demikian juga Dr Mohammad Hatta, dijemput ke sana atas permintaan Ir. Soekarno[34]. Penculikan ini bermaksud supaya keduanya terlepas dari pengaruh Jepang dalam urusan Proklamasi[35]. Hal ini dilakukan karena golongan pemuda tidak menyukai hubungan terlalu erat antara kedua pemimpin itu (Soekarno-Hatta) dengan pihak Jepang[36].
Petang hari Mr. Ahmad Soebardjo datang menjemput keduanya, para pemuda baru mau melepaskan setelah ada jaminan dari Mr. Ahmad Soebardjo bahwa Proklamasi akan disiarkan ke seluruh dunia, besok tanggal 17 Agustus 1945.
Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta jam 20.00, kemudian singgah dulu di rumah Ir. Soekarno untuk mengantarkan Fatmawati dan Guntur, kemudian mampir juga di rumah Dr. Mohammad Hatta di jalan Diponegoro 57, di sana pemuda Soekarni sempat meminjam baju preman pada Hatta, karena takut ditangkap Kempetai bila masuk Jakarta masih berseragam PETA[37]. Maksud Dr. Mohammad Hatta singgah ke rumah adalah untuk mempersiapkan rapat yang tertunda pagi harinya, seraya meminta kepada Mr. Ahmad Soebardjo agar anggota PPKI yang menginap di Hotel Des Indes Jakarta ditilpun untuk datang berkumpul di rumah Laksamana Muda Maeda jam 24.00[38].

Sempat dua jam Mohammad Hatta mempersiapkan acara rapat PPKI itu di rumahnya, jam 22.00 Ir. Soekarno menjemput Hatta untuk sama sama pergi ke rumah Laksamana Maeda guna bertemu dengan Mayor Jendral Nishimura. Dari sana rombongan langsung menuju rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 (Disamping Gereja ayam taman Suropati sekarang menjadi kediaman Duta Besar Inggris)[39].
Perlu dicatat disini bahwa anggota PPKI itu memiliki komposisi yang berbeda dengan anggota BPUPKI. Bila anggota BPUPKI pihak Nasionalist Islam berjumlah 35 orang dan Pihak Nasionalis sekular 27 orang[40]. Maka komposisi itu berubah di PPKI, dimana pihak Islam hanya 2 orang (KH. Wahid Hasjim dan Ki Bagus Hadikusumo) sedang sisanya sebanyak 19 orang adalah pihak Nasionalis sekuler yang menentang Islam sebagai dasar Negara[41].
Dari komposisi ini tampak ada usaha golongan nasionalist sekuler, kaum yang menghendaki negara netral agama tadi untuk menyingkirkan Ummat Islam di dalam percaturan politik menjelang proklamasi. Atau setidaknya untuk mengecilkan peran kaum muslimin dalam menentukan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia mendatang[42]. Ada rencana busuk untuk mementahkan kembali hasil kesepakatan BPUPKI yang telah diterima bulat, baik mengenai teks proklamasi, Preambule dan isi UUD45. Terbukti pada saat persiapan proklamasi tanggal 17 Agustus jam 03.00 dinihari, semua persiapan yang telah matang disyahkan BPUPKI, dirubah begitu saja tanpa mengindahkan hasil kerja keras dan jerih payah BPUPKI dalam mengambil jalan tengah atas perbedaan pendapat yang sangat tajam sebelumnya.
Rapat PPKI baru dimula tengah malam, dalam pembukaan rapat tersebut Ir. Soekarno dan Dr Mohammad Hatta mengemukakan tentang kondisi dan situasi terakhir politik di Indonesia, terutama pembicaraan mereka dengan pemimpin pemimpin Jepang. Setelah itu pertemuan diskor untuk memberi kesempatan kepada Ir. Soekarno, Mr. Mohammad Hata, Mr. Ahmad Soebardjo didampingi unsur pemuda, diantaranya Sukarni dan Sayuti Melik untuk meyusun “teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” di ruang makan. Sebab baik Soekarno-Hatta dan anggota PPKI yang lainnya, tidak ada seorangpun yang membawa teks resmi proklamasi yang telah disyahkan BPUPKI tanggal 14 Juli 1945[43].
Ini sungguh aneh, anggota PPKI yang sudah menyiapkan diri untuk rapat sampai menginap di Hotel Des Indes, tapi mengapa ketika datang ke tempat rapat tanpa membawa Teks resmi yang diamanatkan Sidang BPUPKI. Baik Ir Soekarno sebagai Ketua, maupun Dr Mohammad Hatta sendiri sebagai Wakil Ketua PPKI sempat singgah sebentar dirumahnya sebelum menuju rumah Laksamada Muda Maeda[44], tetapi mengapa tidak juga menyempatkan diri untuk mengambil Teks Proklamasi Resmi ?
Atau kalaupun memang lupa membawanya, mengapa tidak ada juga usaha untuk mengambil teks itu dari rumah Dr Mohammad Hatta, yang jaraknya sekitar 100 meter saja dari tempat rapat tersebut ? (tidak akan sampai memakan waktu lima menit perjalanan -pen)[45]. Dan dalam tulisan Hatta sendiri dalam bukunya : “Mitos dan Kenyataan Tentang Proklamasi 17 Agustus 1945” halaman 338, menyatakan bahwa tanggal 15 Agustus 1945 itu : Ia sedang sibuk merancang teks proklamasi kemerdekaan, yang akan diperbincangkan esok harinya dalam Badan Persiapan (PPKI –pen)[46]. Mengapa harus merancang lagi, bukankah teks jadi yang disepakati sudah ada ? Ini memberi indikasi bahwa Dr Mohammad Hatta sendiri bersikap “setengah hati” dengan hasil keputusan BPUPKI yang mensyahkan teks proklamasi.
Lantas dimana jiwa kenegaraan para pemimpin bangsa Republik Indonesia ini ? Dengan mudahnya mereka mengabaikan keputusan resmi, berkhianat setelah diamanati, dan mengingkari janji setelah sepakat berjanji menerima keputusan BPUPKI. Kemudian berdusta lagi dengan mengatakan bahwa teks resmi yang otentik bukanlah yang dibuat BPUPKI tetapi adalah yang dibuat tanggal 17 Agustus dini hari tersebut[47].
Menurut kesaksian Mr. Ahmad soebardjo, ketika itu terjadi dialog antara dirinya dengan Ir. Soekarno, ketika mereka berkumpul bersama Dr Mohammad Hatta dan Unsur pemuda merumuskan teks Proklamasi baru, karena yang resmi dan syah ketinggalan :
· Ir Soekarno : “Masih ingatkah saudara teks dari Bab Pembukaan Undang Undang Dasar kita ?
· Mr A. Soebardjo: “Ya saya ingat, tetapi tidak lengkap seluruhnya”
· Ir. Soekarno : “Tidak mengapa, kita hanya memerlukan kalimat kalimat yang menyangkut proklamasi dan bukan seluruh teks nya.”
Ir. Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan menulis sesuai dengan apa yang diucapkam Mr. Ahmad Soebardjo :
· “Kami rakyat Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan kami.”
· Atas hal itu Dr Mohammad Hatta berkomentar : “…kalimat itu hanya menyatakan kemauan bangsa Indonesia untukmenentukan nasib sendiri. sebab itu mesti ada komplemennya yang menyetakan bagaimana caranya menyelenggarakan Revolusi Nasional.” Lalu saya (Dr Mohammad Hatta) mendiktekan kalimatyang berikut :
· Hal hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya
Ir. Soekarno yang menuliskan “klad” atau konsep proklamasi yang dibantu oleh dua orang tokoh di atas menjadi seperti berikut :
Proklamasi
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat singkatnja.
Djakarta, 17-8-05
Wakil wakil bangsa Indonesia
Setelah selesai maka mereka kembali ke serambi muka menemui anggota PPKI yang lain, kemudian Ir. Soekarno membacakan Draft rumusan yang telah mereka hasilkan itu, dan menyarankan supaya segenap mereka yang hadir untuk menandatangani naskah proklamasi itu selaku “Wakil wakil bangsa Indonesia.”
Saran tersebut mendapat tantangan dari para pemuda yang tidak rela menyatakan “budak budak Jepang” ikut menandatangani naskah Proklamasi[48]. Pernyataan ini membuat heboh, dimana tokoh tokoh tua yang disindir pemuda tersinggung. Maka pemuda Sukarni selaku salah seorang pemimpin pemuda mengusulkan, agar supaya yang menandatangani Naskah Proklamasi itu hanyalah Soekarno-Hatta saja. Usul itu diterima baik oleh hadirin dan Ir. Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik naskah bersih berdasarkan “Draft” dengan beberapa perubahan yang telah disetujui.
Sayuti Melik kemudian mengetik naskah proklamasi tadi, adapun perubahan yang dimaksud bukanlah mengenai makna tetapi cara penulisan saja dimana :
· Kata “tempoh” diubah menjadi “tempo”
· Kalimat “Wakil wakil bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama Bangsa Indonesia”.
· Cara menulis tangal diubah dari “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05”[49].
Bunyi naskah selengkapnya adalah sebagai berikut :
Proklamasi
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahooen 05[50]
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta
(tandatangan Ir. Soekarno)
(tanda tangan Dr Mohammad Hatta)[51]
Perlu dicatat disini, mengapa tidak ada seorang pun yang protes dengan naskah ini? Bukankah naskah yang disyahkan BPUPKI telah dibuat ? Dengan demikian berarti PPKI yang bertugas untuk mengesahkan Undang Undang dasar yang telah rampung dibuat BPUPKI dan memilih presiden dan wakil presiden, telah menyimpang dari tugasnya[52]. Mengapa PPKI malah membuang teks proklamasi yang ada dalam Piagam Jakarta yang telah ditandatangani 56 hari sebelumnya oleh sembilan orang tokoh terkemuka dari berbagai macam aliran dan golongan ? Pencoretan ini jelas tidak syah dan merupakan pengkhianatan dan penipuan bersejarah mengiringi lahirnya Republik Indonesia sebagai sebuah Negara.
Menurut kesaksian Mr. Ahmad Soebardjo, waktu itu hadir pula DR Radjiman Wediodiningrat, ketua BPUPKI yang mensyahkan teks proklamasi yang dirumuskan dalam Piagam Jakarta[53]. Namun mengapa ia tidak mengingatkan yang hadir untuk kembali pada kesepakatan semula, mengapa dengan mudahnya ia menyetujui teks baru itu ? Sekali lagi kita tegaskan di sini, bahwa diduga kuat, memang ada konspirasi pihak nasionalis sekular, untuk mempeti-eskan teks yang diamanatkan BPUPKI, yang bagi muslimin itu adalah hasil maksimal yang mampu dicapai dalam mewujudkan aspirasi 52.000 surat dari para ulama yang menghendaki Islam sebagai dasar negara.
Betapa tidak, dari kesepakatan bahwa negara Indonesia tersebut akan diproklamasikan “.. dengan berdasar ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk pemeluknya” menjadi suatupernyataan kemerdekaan belaka, dan mengusahakan pemindahan kekuasaan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya. Tidakkah anda melihat perbedaan dampaknya bagi karakter negara yang dilahirkan itu di masa masa berikutnya setelah proklamasi ?
Kalau kita ulang kronologis peristiwa sebelum proklamasi, benar bahwa ketika pemuda utusan Chairul saleh menuntut agar Indonesia diproklamasikan tanggal 15 Agustus 1945, Ir. Soekarno menolak. Tetapi bukan berarti tidak menindak lanjuti berita penyerahan jepang itu. menurut kesaksian Dr Mohammad Hatta yang ditulisnya dalam buku “Sekitar Proklamasi” hal 30 - 32, bahwa sepulang dari Dallat-Saigon tanggal 14 Agustus 1945 mereka mendapat kabar dari Sjahrir bahwa jepang telah meminta damai pada sekutu. Untuk mencek berita dari Sjahrir ini maka Soekarno (Ir) dan Hatta (Dr) diantar oleh Soebardjo (Mr) pergi ke Gunseikebu. Tanggal 15 Agustus mereka menemui Laksamana Muda Maeda. Walaupun maeda tidak menjawab secara pasti tentang kabar tersebut, tetapi dari pembicaraannya sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa berita itu benar adanya. Karenanya sepulang dari Laksamana Muda Maeda mereka bertiga memutuskan untuk menyelenggarakan rapat PPKI pada tanggal 16 agustus 1945, jam 10,00 pagi di Kantor Dewan sanyo Kaigi, Pejambon, Jakarta. Seluruh rencana itu bathal karena pemuda merencanakan sesuatu yang lain, yakni menculik Soekarno-Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok, dengan alasanmenjauhkan mereka dari pengaruh Jepang.
Pertanyaan kita ; “Menjauhkan Soekarno-Hatta dari pengaruh Jepang, atau menjauhkan mereka dari Naskah Resmi Proklamasi yang disyahkan BPUPKI ?” Sebab walau rencana pemuda nampak tidak ada hubunganya dengan teks resmi proklamasi, tetapi justru akibat dari rapat mendadak yang baru dimulai tengah malam dan selesai dini hari jam 03.00 pagi 17 Agustus 1945 itu, membuat segala konsep matang yang telah dibuat diabaikan, dan beralih pada naskah proklamasi baru yang disusun tergopoh gopoh dan tidak mencitrakan karakter yang jelas dari negara yang diproklamasikan itu. Dan mengapa sebagian anggota PPKI yang juga pernah menjadi anggota BPUPKI mendiamkan kejadian ini ?
Dari sini kita melihat bahwa analisa Abdul Qadir Jaelani, bahwa ada upaya pihak nasionalis sekuler untuk menyusutkan jumlah pihak Islam, serta mementahkan kembali apa yang telah disepakati pada rapat BPUPKI tidak jauh dari kenyataan. Siapakah para pemuda itu ? Abdul Qadir Jaelani menyebutnya sebagai pemuda sosialis/marxis[54] yang membawa Soekarno dengan alasan mereka terpaksa diungsikan sebab menjelang jam 12.00 hari itu, 15.000 massa rakyat yang dipimpin oleh PETA akan melucuti senjata Jepang dan memproklamasikan Indonesia merdeka, tanpa melalui bantuan fasis Jepang[55].
Penyingkiran Piagam Jakarta sebagai teks resmi proklamasi yang disyahkan BPUPKI dan menggantikannya dengan teks proklamasi darurat adalah suatu tindakan strategi-politis yang sangat menguntungkan golongan nasionalis sekuler, untuk masa mendatang. Dan sebaliknya sangat merugikan Ummat Islam. Golongan nasionalis sekuler yang menganut paham bahwa politik itu kotor dan menghalalkan segara cara untuk mencapai tujuan (machiavellis), tentunya tidak segan segan untuk mengambil kesempatan yang sangat menguntungkan bagi perjuangan mereka, walau dilihat dari etis politik (fatsoen politik) tindakan semacam itu bisa dimasukkan kedalam “suatu pengkhianatan” atas hasil permusyawaratan yang telah diputuskan bersama.[56]
“Bagaimanakah akan ada perjanjian antara Allah dan Rasulnya dengan mereka, padahal jika mereka memperoleh peluang/kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan dengan kamu dan tidak pula mengindahkan perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulut mulut mereka, sedang hati mereka menentang kamu. Dan kebanyakan mereka adalah orang orang yang fasiq. Mereka menjual ayat ayat Allah dengan harga yang sedikit dan menghalangi manusia dari jalanNya. Amat buruk apa yang mereka lakukan. Mereka tidak memelihara hubungan baik dengan orang yang beriman, tidak juga menghargai perjanjian. Mereka adalah orang orang yang melampaui batas batas hukum” (S.9:8-10)
Apakah pengkhianatan atas perjanjian ini selesai sampai di sini ? Tidak ! Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus 1945 pengkhianatan itu berlanjut. Memang bila telah melakukan satu dosa, mengulang dosa berikutnya tidaklah terlalu sulit !

PANCASILA WARISAN ULAMA YANG DIPANGKAS MENJADI BERHALA

Banyak muslimin warga Negara Republik Indonesia yang merasa tidak masalah dengan Pancasila , bahkan dengan bangga mengatakan bahwa itu adalah warisan para ulama, hasil ‘ijtihad maksimal’ mereka dalam meletakkan ‘gagasan tauhid’ untuk negara multi etnis dan multi agama di Nusantara.
Inilah keberhasilan upaya propaganda fihak anti Islam, muslimin awam di Nusantara terpedaya, mereka tidak tahu Pancasila versi mana yang dalam penggodokannya melibatkan para cendikiawan muslim itu ? Tepat seperti dikatakan DR Muhammad Roem; “tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Panca Sila , Dasar negara kita (RI –pen), sudah mengalami lima kali perubahan, artinya sudah beralih dari rumus ke satu ke rumus yang lain, hingga lima kali.”[57]
Pancasila yang dirumuskan para ulama itu bukanlah Pancasila yang kini dijadikan dasar negara RI, tapi Pancasila yang dirumuskan dalam Piagam Jakarta, yang setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” dilanjutkan dengan kalimat “Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya”
Sedangkan Pancasila yang disyahkan menjadi dasar negara RI, sehari setelah proklamasi (18 Agustus 1945) adalah Pancasila versi baru yang atas desakan kaum salib di Nusantara bagian Timur[58], diajukan lewat Dr Muhammad Hatta pada akhirnya kewajiban menjalankan syari’at Islam itu dihapuskan. Sejarah membuktikan bahwa kelahiran RI diawali dengan penghapusan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya.
Penghapusan 7 kata ini jelas memiliki dampak sangat besar, sebab berbeda dengan Piagam Jakarta yang bila itu yang dijadikan dasar negara, memiliki konsekwensi logis bahwa negara berkewajiban untuk memberlakukan syari’at Islam bagi segenap pemeluknya. Maka Pancasila yang trelah dicukur tadi, tidak memberikan konsekwensi apapun selain pengakuan moral negara akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Dikatakan “jalan” karena Pancasila Piagam Jakarta dimana beberapa tokoh Muslimin jaman itu ikut membidani kelahirannya, Pancasila ketika itu bukanlah target final, tetapi maksimal usaha atau katakanlah usaha terakhir yang bisa dilakukan dalam keadaan “kalah bicara” menghadapi retorika Soekarno ketika itu. Mereka mungkin masih terpengaruh dengan janji Bung Karno yang mengatakan bahwa upaya pembelaan Islam, keselamatan agama bisa diperbaiki nanti di kemudian hari lewat parlemen[59].
Bila Pancasila versi Piagam Jakarta 22 Juni 1945 merupakan maksimal ijtihad para ulama di Nusantara (waktu itu belum ada RI) untuk mengasaskan pendirian negara bagi mereka. Tetapi Pancasila yang ternyata jadi dasar negara RI, sekali lagi, bukanlah Pancasila yang dirumuskan ulama - cendikiawan muslim Nusantara tadi. Justru RI lahir di atas Pancasila yang menghapus kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi para pemeluknya. Dan penghapusan ini sama sekali tidak dibicarakan dengan wakil wakil Islam yang menandatangani Piagam Jakarta. Artinya pada tanggal 18 Agustus 1945 itu RI tegak di atas Dasar Negara yang menghapus kewajiban melaksanakan syari’at Islam[60].
Walaupun memang pada awalnya Pancasila dirumuskan oleh ulama, namun apa artinya Pancasila, bila telah dilepaskan dari kewajiban menjalankan syari’at Islam. Jangankan Pancasila yang muhdats (baru), bid’ah (tidak ada sebelumnya). Al Quran saja, bila telah dilepaskan dari kewajiban menjalankan syari’at Islam yang terkandung di dalamnya, tidak lagi menjadi sesuatu yang mengundang berkah, malah mengundang ‘adzab. Coba perhatikan, Quran saja bisa mengundang siksa, bila telah dilepaskan dari kewajiban menjalankan Hukum Hukum yang ada di dalamnya. Silahkan simak ayat di bawah ini
Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), kami telah menurunkan (‘adzab) kepada Muqtasimin (orang orang yang membagi bagi kitab Allah), yaitu orang yang telah menjadikan Al Quran terbagi bagi (sebagian diimani sebagian tidak). Maka Demi Robb mu, Kami akan menanyai mereka semuanya” (S.15:90 - 92)
“.....Apakah kamu beriman pada sebagian isi Al Kitab dan kafir kepada sebagiannya lagi ? Maka tidak ada pahala bagi orang yang berbuat seperti itu di antara kalian, kecuali kehinaan di dunia dan di qiyamat kelak akan diseret menuju adzab yang keras...” (S.2:85)
Ringkas sejarah Pancasila ini dipaparkan, kiranya membuka mata kita semua bahwa Pancasila itu pernah lahir dalam berbagai bentuk dan interpretasi. Ada Pancasila yang disusun Panitia Sembilan, yang tegas memberi Draft pembukaan awal yang jelas bagi terpenuhinya wajib suci muslimin. Ada Pancasila versi pembukaan UUD 45, yang menghapus harapan para pejuang Islam Nusantara ketika itu, sebab pada kelahirannya yang ke dua ini telah menghapus 7 kata. Ada Pancasila versi Orde lama yang bisa diperas peras menjadi Trisila dan Ekasila (Gotong Royong). Ada Pancasila versi Orde Baru, yang memiliki daya cengkram sedemikian menyeluruh dan segenap aspek hidup masyarakat yang tinggal di wilayah (berwali kepada) Republik Indonesia. Sehingga daripadanya lahir “Gerakan Hidup Ber-Pancasila ”, “ P4” dan lain sebagainya.
Nyata bahwa Pancasila semakin hari ini semakin meningkat daya resapnya, bukan sekedar Ideologi Negara RI, tetapi menjadi “way of life” pandangan hidup warga Republik Indonesia. Tidak heran bila Muslimin warga RI giat giatnya mencarikan ayat ayat suci Al Quran untuk mengangkat nilai nilai Pancasila hingga serasa ibadah dengan mengamalkannya

[1] The Japanese Empire (hereby) announce the future independence of all Indonesian people. Demikian diumumkannya di depan resepsi istimewa “The Imperial Diet yang ke 85”
[2] H. Muhammad Yamin, Pembahasan Undang Undang Dasar Republik, yayasan Prapanca, Jakarta,1960, hal 229
[3] Ichibangase tidak muncul selama perundingan, ia berdiri di belakang layar dan bertindak sebagai penawas dan penghubung antara BPUPKI dan Gunsekebu (Pembesar tertinggi sipil dari pemerintahan militer Jepang di Jawa dan Madura). Badan ini didirikan tanggal 28 Maret 1945 tetapi baru dilantik tanggal 28 Mei 1945 di Gedung Pejambon Jakarta. Lihat Abdul Qadir Jaelani, Peta sejarah, 1996 hal 69, juga Mr. Ahmad Soubardjo, Kesadaran Nasional, Gunung Agung Jakarta, 1978, hal 276.
[4] Berlangsung mulai 29 Mei hingga 1 Juni 1945.
[5] Dari 60 orang anggota BPUPKI, tidak termasuk ketua dan wakil ketua, pada saat hearing, 53 suara memilih bentuk Republik sedangkan 7 suara memilih bentuk kerajaan. Demikian menurut kesaksian Prof. K.H. A. Kahar Muzakir pada Sidang Konstiuante 1955 dimana beliau pada tahun 1945 terlibat aktif sebagai anggota sidang BPUPKI bahkan anggota Panitia 9.
[6] Kesaksian JenDral Abdul haris nasution –sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata- pada peringatan 18 Tahun Piagam Jaklarta, tanggal 22 mei 1963 dalam Pidatonya yang berjudul “Panca Sila itupun Pencerminan dan Hasil daripada Hikmah Piagam Jakarta.” Endang Saefuddin Anshari, Piagam, hal 28. Lihat pula KH. Firdaus AN, Dosa Dosa Politik, hal 83
[7] Lihat DR Muhammad Hatta, “Uraian Pancasila Pancasila”, Mutiara, Jakarta, 1978 hal 31.
[8] Mr. Ahmad Soebardjo, “Lahirnya republik Indonesia” PT. Kinta, Jakarta, 1972 hal 108
[9] BJ Boland, “Pergumulan Islam di Indonesia”, Grafiti Pers, Jakarta, 1985, hal 28. Lihat pula KH. Firdaus AN, “Dosa Dosa Politik” Al Kautsar, Jakarta, 1999 hal 99 dimana teks Proklamasi yang autentik yang disepakati bersama oleh BPUPKI ditulis lengkap.
[10] BJ. Boland, , “Pergumulan Islam di Indonesia”, Grafiti Pers, Jakarta, 1985 hal 29
[11] merupakan sidang kedua BPUPKI yang berlangsung mulai tanggl 10 –16 Juli 1945
[12] Ejaan telah ditulis dengan EYD.
[13] Muhammad Yamin, “Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 45” Jilid I, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959, hal 284. Kalimat dalam kurung dari penulis.
[14] Ibid hal 388
[15] ibid hal 391
[16] ibid hal 392
[17] ibid hal 393
[18] ibid hal 398
[19] Patut dicatat bahwa Presiden harus beragama Islam ini ditegaskan kembali oleh Ir. Soekarno, tetapi ketika peluangnya untuk menjadi presiden, mencapai 99,9 % Ir. Soekarno mulai bertingkah, dimulai dengan mengkhianati kesepakatan, menolak memproklamasikan Indonesia dengan Teks yang telah bulat dibuat BPUPKI, menggantinya dengan apa yang dia rumuskan bersama Mr. Ahmad Soebardjo dan Dr Mohammad Hatta tanggal 17 Agustus dinihari. Lihat BJ. Boland, Pergumulan hal 26,28. Dr Mohammad Hatta “sekitar Proklamasi, Tintamas jakarta, 1969 hal 50. Mr. Ahmad Soebardjo “Lahirnya epublik Indonesia” PT. Kinta Jakarta, 1972 hal 108.
[20] Kesaksian JenDral Abdul haris nasution –sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata- pada peringatan 18 Tahun Piagam Jaklarta, tanggal 22 mei 1963 dalam Pidatonya yang berjudul “Panca Sila itupun Pencerminan dan Hasil daripada Hikmah Piagam Jakarta.” Endang Saefuddin Anshari, Piagam, hal 28. Lihat pula KH. Firdaus AN, Dosa Dosa Politik, hal 83
[21] Drs. C.S.T. Tansil, S.H & Drs. Julianto M.A., Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, PT.Erlangga, 1991 (cetakan ke 13, cet pertama 1968), Jakarta hal.43
[22] Bj. Boland, Pergumulan, hal 36.
[23] Harry J Benda, Bulan sabit dan Matahari terbit Islam di Indonesia Pada Masa pendudukan Jepang, Pustaka jaya, jakarta, 1985 hal 233
[24] Panitia Peringatan, “Kasman Singodimejo 70 tahun, Bulan Bintang, Jakarta, 1982 hal 127.
[25] Mr. Ahmad Soebardjo, Kesadaran Nasional, 1978 halaman 294 lihat juga Dr Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi, Tintamas, jakarta, 1970 hal 30 -32
[26] lihat DR. Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi, Tintamas, jakarta, 1970 hal 30 -32
[27] BJ. Boland, Pergumulan hal 36
[28] BJ. Boland, Ppergumulan, 1985 hal 37 dan ternyata memang setelah Bom Atom yang kedua meledak di Nagasaki tanggal 14 Agustus 1945, Jepang tidak lagi memiliki kesempatan dan kekuasaan untuk memikirkan bangsa lain. Tanggal 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, maka “janji kemerdekaan” ini menjadi mentah kembali.
[29] Diterbitkan oleh Prometheus, Amsterdam, 1992 halaman 40. Lihat Islam Salim, “Terobosan DRI dan Peranan TNI”. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995 hal 5
[30] Begitu tanggal 15 Agustus Jepang menyerah, para pemuda Indonesia dipimpin oleh Chairul saleh mengadakan perundingan di Gedung Pegangsaan Timur 16 (sekarang Jl. Proklamasi 16), dan memutuskan supaya Kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan oleh Bangsa Indonesia sendiri (tidak harus menunggu kesepakatan dengan Jepang yakni tanggal 24 Agustus 1945 –pen). Pemuda Wikana dan darwis menyampaikan hasil putusan rapat tersebut malam itu juga (tgl 15 Agustus) kepada Ir. Soekarno dan Dr Mohammad Hatta, Lihat Drs. C. S.T. Kansil S.H, Sejarah Peprjuangan, 1991 hal 43. Dialog keras antara pemuda dengan Soekarno dan Hatta lihat Memoir Hatta hal 443-446, yang karena pemuda tetap memaksa akhirnya Soekarno-Hatta ‘menyuruh’ agar pemuda sendirilah yang memproklamasikan kemerdekaan itu. Ini merupakan sindiran tajam keduanya atas gertakan pemuda pada mereka. Kejadian ini diduga kuat menjadi pemicu terjadinya penculikan keduanya oleh kelompok pemuda tadi. Lihat juga Ahmad Soebardjo, Kesadaran Nasional hal 307 - 308
[31] Jepang merahasiakan kekalahannya, Sukarno-Hatta telah berusaha menemui Gunseikan, kepala pemerintahan pendudukan Jepang, namun ia tidak ada di kantornya, kemudian mereka berdua mendatangi Mr. Ahmad Soebarjo untuk kemudian bersama sama menuju kantor Laksamana Muda Maeda. Dari pembicaraan itu Maeda tidak menjelaskan keadaan sebenarnya, namun mereka mengerti bahwa Jepang memang sudah menyerah, cuma masih ditutup tutupi. Lihat Mr. Ahmad Soebardjo, Kesadaran hal 300 – 301. Juga Memoirnya Hatta halaman 443.
[32] K.H. Firdaus AN, Dosa Dosa Politik, 1999, hal 95. Menurut kesaksian Mr. Ahmad Soebarjo dalam Kesadaran Nasional, hal 314 : Apakah akibatnya dari penyerahan Jepang ini ? Jepang harus mempertahankan keadaan status Quo pada saat ia menyerah,menurut Hukum Internasional. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan keadaan politik maupun militer dilarang. Jepang telah menjadi alat sekutu di semua daerah yang didudukinya. Merekalah yang bertanggung jawab atas terpelihara keamanan dan ketertiban. Mereka harus tetap menjalankan roda administrasi pemerintahan dan menjamin bahwa pekerjaan sehari hari dari penduduk berjalan seperti biasanya. Proklamasi kemerdekaan setelah penyerahan berarti perubahan status quo dan mengakibatkan campur tangannya Jepang untuk mempertahankan status quo sampai sekutu datang –pen).
[33] Sekarang (1999) gedung itu berada di samping Gedung Pancasila, Lihat Memoir Hatta hal 443, Soebardjo, Kesadaran hal 301.
[34] Salim Islam (beliau putra Haji Agus Salim), Terobosan PDRI, 1995, hal 4. Ada perbedaan nama nama pelaku antara tulisan salim Islam dengan Nugroho, namun bukan berarti bertentangan hanya saling melengkapi saja, anta penggagas rencana dengan pelaku di lapangan.
[35] Prof. DR Nugroho Notosusanto, naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang otentik, balai Pustaka, 1981, hal 14. Penulis buku ini juga berpangkat Brigadir JenDral, mengepalai Pusat Sejarah Abri dan guru besar mata kuliah Metode Sejarah di Fakultas sastra Universitas Indonesia.
[36] Pada awal bulan Nopember 1943 Sukarno mendapat penghargaan Bintang Ratna Suci kelas 2, sedang Dr Mohammad Hatta dan Ki Bagus Hadikusumo masing masing mendapat penghargaan Bintang Ratna Suci kelas 3, pemberian ini bernakna bahwa mereka dipandang sebagai keluarga istana dan tidak dapat diganggu Kempetai. Lihat Mohammad Hatta, Memoir, 1982 hal 432
[37] Mohammad Hatta sempat menertawakan sikap Soekarni, yang sebelumnya dengan gagah siap memproklamasikan RI di luar koordinasi Jepang, tetapi ternyata takut ditangkap Kempetai, lihat Memoir halaman 451.
[38] Panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia ini, didekritkan tanggal 7 Agustus, dilantik tanggal 15 Agustus 1945 dengan Ketua Ir. Soekarno dan wakil Ketua Dr Mohammad Hatta, lihat pula Abdul Qadir Jaelani, Peta Sejarah, hal 89 mengutip dari Panitia persiapan kasmansingodimejo hal 87-93. Data ini sama dengan yang ditulis BJ. Boland, “Pergumulan” 1985, hal 37 catatan kaki nomor 66. Mengenai kronologis menuju rapat lihat Memoir Hatta hal 449 – 453.
[39] Maeda adalah seorang Perwira Penghubung yang berkedudukan di Jakarta, menghubungkan Angkatan Darat ke – 16 Jepang dengan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar (Ujung Pandang) lihat J.D. Legge, “Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, Peranan kelompok Sjahrir. Grafiti Pers Jakarta, 1993 halaman 6. Mengenai kronologis peristiwa ini lihat lampiran 4 Kronologi perumusan Pancasila dan Naskah Proklamasi serta Pembacaan Teks Proklamasi, hal 27 – 31 diambil dari Departemen Pertahanan dan Keamanan,Lembaga Penelitian dan Pengembangan hankam, Lembaga Sedjarah Hankam, Kedjelasan mengenai Pantjasila dan Proklamasi, Djakarta, 1968, hal 71-73
[40] KH. Firdaus AN, Dosa dosa Politik, 1999 hal 111, walaupun ternyata dari 35 orang ini, akibat lobby nasionalist sekuler pada waktu Voting Dasar Negara, hanya 15 Orang yang tegas memilih Islam sebagai dasar negara. Pelajaran dari sejarah ini adalah, diperlukan sikap istiqomah seorang mujahid untuk membela islam ini, dengan berbekal aqidah dan siap syahid untuk kebenaran Islam. Bukan sekedar kepiawaian politik yang berangkat dari kepandaian otak dan h itungan untung rugi belaka. Sebab kalau semata mata berputar di akal dan untung rugi, kita menyaksikan sendiri betapa goyahnya perjuangan mereka.
[41] Abdul qadir Jaelani, Peta Sejarah Perjuangan Politik Ummat Islam di Indonesia, CV Tribakti, Surabaya, 1996 hal 87
[42] ibid hal 88
[43] Kesaksian Dr Mohammad Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi, hal 49. Lihat pula Muhammad Yamin, “Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 45” Jilid I, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959, hal 284. Pada tanggal 14 Juli 1945 sebagai ketua DR Radjiman bertanya ; “Jadi apakah saya bisa menentukan, bahwa usul Panitia (Sembilan) tentang Pernyataan (kemerdekaan/proklamasi) dan Pembukaan (Undang Undang Dasar) ini …. Diterima bulat?” dijawab serentak oleh sidang : “Bulat !” . Kalimat dalam kurung dari penulis.
[44] Mr. Ahmad Soebardjo, Kesadaran Nasional, 1978 hal 323.
[45] lihat Panitia Peringatan, Kasmansingodimejo 70 tahun, 1982 hal 87 - 93
[46] Kesaksian Mr. Ahmad Soebardjo dala bukunya Kesadaran Nasional halaman 308, Lihat Memoir Hatta halam 444, 446, 450.
[47] Lihat terbitan resmi Penerbitan Negara Balai Pustaka, 1981 “Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik”. Bahkan lebih hebat lagi kebohongan itu, bila kita melihat dalam buku “30 Tahun Indonesia Merdeka” yang ahk ciptanya dimiliki Sekretariat Negara republik Indonesia, penerbit PT Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, 1986 hal 20. Dikatakan bahwa banyaknya coretan pada konsep tulisan tangan Ir. Soekarno menunjukkan banyaknya pertimbangan sebelum tercapai kata sepakat mengenai kepastian isi dan susunan redaksinya. Pembaca bisa menilai sendiri pernyataan itu J
[48] Yang dimaksud “budak budak Jepang” adaah tokoh tokoh golona tua yang dinilainya bukan orag orng pergeraan nasional,malainkan hanya opportunis opportunis belaka dan memperoleh “kursi” karena pengabdiannya kepada pemerintah balatentara “Dai Nippon”
[49] Tahun 05 maksudnya tahun 2605, ini adalah sistem penanggalan kalender jepang yang menggantikan sistem penanggalan Masehi yang segera di larang setelah Jepang menduduki Indonesia. Ini memiliki alasan politis untuk mensosialisasikan kultur Dai Nippon di tempat yang didudukinya. Awal penanggalan tahun ini diambil dari tahun kelahiran Tenno Jinnu yang dipercayai Jepang sebagai keturunan ke lima dari Amara Terasu Omikami (Dewa Matahari). Tahun ini disebut tahun Sumera yang dimulai sejak 660 SM, demi alasan politis inilah tahun Sumera ini kembali diberlakukan semenjak tanggal 29 April 1942 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito, dimana tahun 1942 ditambah 660 menjadi 2602 tahun Sumera. Hal ini bisa kita lihat misalnya pada penerbitan koran Asia Raja (Djakarta) yang terbit di bawah editor Jepang-Indonesia antara tahun 2602 – 2605 (atau sejak 29 April 1942 – 8 September 1945). Lihat Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, hal
Nampak bahwa ini murni poliitis, terbukti di Jepang sendiri tahun ini tidak digunakan. Tahun yang digunakan di kepulauan Jepang adalah tahun Syowa yang dipakai semenjak Kaisar Hirohito dilatik pada tanhun 1925 dan terus berlaku hingga tahun 1989. Semenjak Kaisar Hirohito wafat dan diganti oleh Kaisar Akihito, maka penanggalan Jepang diganti dengan tanhun Heisel.
[50] Dengan masih menggunakan tahun Sumera, tidak menggunakan tahun Masehi, ini menunjukkan bahwa team perumus “ Teks Proklamasi Baru” masih mengakui berlakunya sistem administratif Jepang, sehingga sampai RI diproklamasikanpun, masih menggunakan sistem penanggalan Jepang. Dan Memang Sukarno dan Hatta adalah penerima penghargaan Bintang Ratna Suci dari Kaisar Jepang, yang sebenarnya hanya diberikan kepada pegawai sipil/militer Jepang yang dianggap berjasa pada Kekaisaran Dai Nipon. Dengan penghargaan itu penerima dianggap keluarga Istana yang tidak dapat diganggu oleh Kempatai sekalipun. Perubahan baru atas teks proklamasi itu terjadi pula pada tanggal 15 Pebruari 1946 dalam Berita Republik Indonesia Tahun II no 7 diumumkan Teks resmi dengan penanggalan Masehi ; Djakarta, 17 Agustus 1945.
[51] Nugroho Notosusanto, Naska proklamasi, 1981, hal 17
[52] Drs. Susanto Tirtoprodjo SH, Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, PT. Pembangunan Jakarta, 1980 hal 68.
[53] Mr. Ahmad Soebardho (Prof), Kesadaran Nasional hal 336, menurutnya, waktu itu juga terlihat hadir Prof Soepomo, Latuharhary SH, Dr Sam Ratulangi, Dr Buntaran, Iwa Kusuma Sumantri SH, juga Chairul Saleh, B.M Diah, Adam Malik, Maruto, Pandu, Sukarni, Sayuti Melik dari kalangan pemuda.
[54] Menurut Ahmad Soebardjo, Wikana sangat aktif dalam gerakan aliran kiri mulai jaman penjajahan Belanda, lihat Kesadaran Nasional halaman 305. Sedangkan Sukarni, menurut Hatta adalah orang yang mendesak Hatta untuk mengganti Ir. Soekarno sebagai presiden RI dengan Tan Malaka, lihat Memoir, 1982, hal 479
[55] Abdul Qadir Jaelani, Peta Sejarah, 1996 hal 89.
[56] Ibid hal 92
[57] Kata Pengantar DR Muhammad Roem untuk buku Piagam Jakarta 22 Juni 1945, karya H. Endang Saefudin Anshary MA. Lihat pula lampiran lima buku tersebut “Lima Rumusan Resmi Pancasila dalam sejarah Indonesia” hal 166.
[58] Menurut buku yang diterbitkan Cornell University (1984), tokoh tersebut adalah DR Sam Ratulangi, lihat “Dosa Dosa Politik Orde Lama dan Orde Baru yang Tidak Boleh Terulang Lagi di Era Reformasi”. K.H. Firdaus AN, Pustaska Al Kautsar, 1999 hal 73.
[59] Lihat BJ Boland, “The struggle of Islam in Modern Indonesia 1982”, KITLV, Leiden. Edisi Indonesia : “Pergumulan Islam di Indonesia”, Grafiti Pers, Jakarta, 1985 halaman 23 - 25
[60] Pantaskan Negara yang berdiri dengan menghapus kewajiban melaksanakan syari’at Islam tadi menjadi tempat muslimin bernaung dan membangun ??? Saya tidak tanya fikiran anda, dari fikiran mungkin bisa keluar seribu alasan, tapi saya tanya iman anda, nurani anda yang paling dalam ........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar